Setelah dua tahun Saman dinyatakan hilang, kini Yasmin menerima tiga pucuk surat dari kekasih gelapnya itu. Bersama surat itu Saman juga mengirimkan sebutir batu akik. Untuk menjawab peristiwa misterius itu Yasmin yang sesungguhnya sangat rasional terpaksa pergi ke seorang guru kebatinan, Suhubudi, ayah dari Parang Jati. Di Padepokan Suhubudi Yasmin justru terlibat dalam suatu kejadian lain yang baginya merupakan perjalanan batin untuk memahami diri sendiri, cintanya, dan negerinya—sementara Parang Jati menjawab teka-teki tentang keberadaan Saman. Cerita ini berlatar peristiwa Reformasi 1998.
Justina Ayu Utami atau hanya Ayu Utami (lahir di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968) adalah aktivis jurnalis dan novelis Indonesia, ia besar di Jakarta dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia pernah menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor dan Detik pada masa Orde Baru, ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan. Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Novelnya yang pertama, Saman, mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia.
Ayu dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan. Akhir 2001, ia meluncurkan novel Larung.
Ini akan menjadi buku Ayu Utami terakhir yang saya baca.
Seperti halnya serial Supernova yang membawa angin segar dengan tema uniknya dalam dunia novel nasional, serial Bilangan Fu, setidaknya bagi saya, pada mulanya cukup berhasil dalam meramu tragedi sejarah lama Indonesia mulai dari tragedi pasca G30S dan 1998 dengan sejarah Indonesia abad pertengahan terutama candi-candi di Jawa Tengah dan Timur lengkap dengan mistisme dan spiritualnya. Dan seperti halnya Supernova yang berujung pada entahlah-malah-gak-ada-ujungnya-alias-kehilangan-arah-dan-konsep-awalnya, serial Bilangan Fu juga mengalami nasib serupa.
Di buku pertama dan kedua, serial Bilangan Fu ini sangat tajam dalam mengkritik sikap deterministik kaum rasionalis yang memuja fakta serta sikap fanatik kaum fundamentalis yang memuja sabda. Ironisnya, buku ini jatuh pada apa yang dikritiknya: doktrinisasi. Pengulangan tema dan topik di tiap bukunya terasa menjemukan bak ceramah dan khotbah yang disiarkan ulang dari kaset rekaman yang mestinya 7 menit, tetapi karena hidangan makanan belum siap, diputar ulang berkali-kali jadi 70 menit. Penulis mengulang-ulang petuah 'harus selaras antara ilmu sains dan spiritual' sehingga pengulangannya terasa sebagai usaha pemaksaan agar kita percaya dengan pandangan penulis. Akibatnya, yang terjadi adalah, saat penulis menyindir sikap tidak toleran kaum rasionalis dan fundamentalis, pada saat bersamaan dia juga tidak toleran terhadap kedua kaum tsb.
Belum lagi kajian sejarahnya yang mencampuradukkan mitos dan klenik terlihat dipaksakan dan jatuhnya malah menjadi 'cocoklogi'--sebuah sebutan informal untuk menyebut tindakan yang suka mencocokan bunyi ayat tertentu dengan bukti sains tertentu. Kalau cuma satu buku okelah. Buku dua, kayaknya cukup sudah. Buku tiga, terasa begah. Buku empat, mulai muntah. Dan saya tak mau lanjut ke buku lima biar tidak batuk darah. #hey,it'sarhyme
Ditambah lagi masalah inkonsistensi timeline yang terasa sangat mengganggu dan penokohan yang terasa sangat dipaksakan dan tak sesuai dengan seri-seri sebelumnya. Dan begitu melihat bagian belakang buku yang menyebutkan bahwa serial ini akan sampai 12 judul.... Oke, saya sudah mendapat poin dan pesannya, cukup sampai di sini. Saya ucapkan terima kasih. Tapi maaf saya tak akan melanjutkan lagi. Bye.
MELAWAN LUPA BERSAMA MAYA (RESESNSI INI TERBIT DI HARIAN TRIBUN JOGJA, 9 FEBRUARI 2014)
MELAWAN LUPA! Barangkali seperti itulah kata yang pas untuk menggambarkan apa yang ingin disampaikan oleh Ayu Utami dalam karya-karyanya. Termasuk Maya, karya terbaru Ayu yang terbit di penghujung tahun 2013. Maya merupakan novel ketiga dalam serial Bilangan Fu, lanjutan dari Manjali dan Cakrabirawa dan Lalita yang telah direncanakan Ayu akan terbagi menjadi 12 bagian.
Masih berseting pada warisan budaya nusantara, kali ini Ayu memilih Candi Sewu sebagai setting latar kisahnya –setelah sebelumnya Ayu menggunakan candi-candi di Jawa Timur untuk di seri buku pertamanya (Manjali dan Cakrabirawa) dan Borobudur di seri buku kedua (Lalita). Namun jangan berharap kisah cinta segitiga antara Parang Jati, Marja dan Sandi Yuda akan kembali Anda temui dalam buku ini. Sebab kalau Anda berharap demikian, Anda pasti kecewa.
Maya mengembalikan ingatan kita pada Yasmin dan Saman, para tokoh utama Ayu dalam fragmen novel perdananya Saman yang mengukuhkan dirinya sebagai pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Juga pada Larung, kelanjutan fragmen tersebut yang terbit 3 tahun setelahnya. Yang semakin mengukuhkan Ayu sebagai salah satu penulis perempuan terbaik di negeri ini. Karya-karyanya banyak mendapat ulasan, tak hanya di dalam negeri, tapi juga sampai di luar negeri. Puncaknya, penulis kelahiran Bogor 21 Nobember 1968 ini menerima Prince Claus Award di tahun 2000.
Alkisah bermula saat Yasmin menerima tiga pucuk surat dari Saman, eks rohaniawan yang telah dinyatakan hilang di tahun 1996. Bersama surat tersebut, Saman yang notabene adalah aktivis hak asasi manusia dan kekasih gelap Yasmin, menyertakan juga sebutir batu akik dalam sebuah suratnya. Siapa yang tak senang mendengar kekasihnya bangkit dari kubur? Namun sayang, keberadaan tiga pucuk surat tersebut belum sepenuhnya menjawab pertanyaan Yasmin. Di manakah Saman sekarang?
Kisah ini bersetting tahun 1998. Tepat dua tahun setelah Saman dan Larung dibungkam timah panas aparat dalam upayanya melarikan tiga orang aktivis reformasi ke luar negeri. Nah, untuk menjawab beragam peristiwa misterius itu, Yasmin yang seorang rasional terpaksa pergi ke Padepokan Suhubudi, ayah Parang Jati. Di Padepokan Suhubudi tersebut, Yasmin justru terlibat dalam suatu kejadian lain yang baginya merupakan perjalanan batin untuk memahami diri sendiri, cintanya dan juga negerinya.
Seperti yang saya sampaikan di awal, bahwasannya buku ini dibuat sebagai kitab melawan lupa. Di dalam novel setebal 249 halaman ini, Ayu Utami merekontruksi kembali legenda Lara Jongrang yang sudah kita kenal –bahkan mungkin juga melekat di benak kita, sebagai legenda berdirinya Candi Sewu atau Prambanan.
Bangsa ini gampang melupakan kejadian... Perhatikan namanya: Lara Jonggrang. Ataukah Prambanan? Kita tak tahu lagi namanya yang semula. Lihatlah para pemandu yang membagikan fotokopi dan legenda kepada para turis. Mereka sungguh tolol dan tidak memberi perspektif. Mereka Asyik bercerita tetnang seorng putri jelita yang dikutuk menjadi arca... Lara Jonggrang. Artinya: Dara Semampai. Ia cantik berwibawa, misterisus, membisu.... Legenda Lara Jonggrang hanyalah satu lapis cerita. Selapis yang lebih muda. Tapi lapisan cerita yang lebih baru ini barangkali tercipta untuk memaknai satu kawasan candi kuno yang telah terlupakan pula. Jadi orang-orang yang menuturkan legenda tentang perempuan cantik menjelma batu sesungguhnya juga tidak tahu lagi tentang asal mula candi ini.
Kompleks candi ini sesungguhnya dibangun di sekitar abad ke-8 atau ke-9. Kira-kira pada masa yang bersamaan dengan Borobudur (yang juga tak kita ketahumi hamanya yang semula). Tapi oleh sebab-sebab yang belum pasti –barangkali letusan besar merapi pada abad ke-10 atau ke-11 kerajaan-kerajaan di Jawah Tengah berpindah ke Jawa Timur. Candi-candi di Jawa Tengah pun ditinggalkan. Barulah setelah lewat satu dua abad, perlahan-lahan terjadi arus balik ke Jawa Tengah. Angkatan baru ini menemukan kembali candi-candi Jawa Tengah seperti generasi yang asing. Mereka tak tahu sebab-sebab candi ini dibangun. Maka mereka membangun legenda mereka sendiri untuk memaknai masa lalu yang telah asing. Bangsa ini menutup kelupaan mereka dengan cerita yang baru.
Jadi arca perempuan ini bukan Lara Jonggrang?
Tahukah kau siapa dia?: perempuan yang berdiri di atas seekor hewan, bertangan delapan, memegang senjata segala dewa? Dia adalah Durga Mahishashuramardini. Artinya Durga yang mengalahkan Mahishashura. Mahishashura adalah yang bahkan para dewa tak bisa mengalahkannya. Hanya seorang perempuan yang mampu; dialah Durga, shakti dari Syiwa.
Jadi, apa yang dikenal sebagai Prambanan atau Lara Jonggrang adalah kompleks percandian Hindu aliran Syiwa. Tiga candi utama menggambarkan Trimurti, dengan pengutamaan pada Syiwa. Candi Syiwa adalah yang terbesar dan terletak di pusat, diapit candi Brahma dan Wishnu. Arca . Durga Mahishashuramardini terletak di salah satu garbagraha candi Shiwa. Tapi, dua tau tiga abad setelah pembangunannya, generasi baru di Jawa telah lupa siapa Durga Mahishashuramardini. Dan mereka membut mitos baru tentang Lara Jonggrang... (hal. 161 – 164)
Begitulah bunyi penggalan-penggalan percakapan antara Yasmin dan Larung mengenai Candi Sewu atau Candi Prambanan atau Loro Jonggrang yang hadir sebagai muara peristiwa di novel ini. Sedangkan judul Maya-nya sendiri mengacu pada nama salah seorang anggota penari cebol Klan Saduki yang kerap memerankan tokoh Sinta dalam lakon Ramayana, yang kisahnya terpahat pada relief-lelief candi Prambanan.
Selain itu, di novel ini Ayu juga merekontruksi kisah Ramayana. Dimana dalam kisah Ramayana versi Jawa, tak ada bagian mengenai Sinta Obong dan pemotongan telinga dan hidung Surpanakha.
Orang Jawa nampaknya mengganggap kisah ini terlalu kejam. Betapa aneh! Rama justru menyuruhh Laksamana mengasingkan istrinya yang tengah mengandung ke hutan. Sinta pun tinggal di padepokan Resi Valmiki dan melahirkan putranya di sana. (hal. 216)
Sejarah mengenai Supersemar dan peristiwa Mei 1998 pun tak luput dari tinjauannya. Itu tadi, rupanya sang penulis, Ayu Utami ingin kita tidak lupa pada sejarah.
Tak banyak typo dalam buku ini. Satu-satunya typo yang saya temukan ada di paragraf kedua di halaman 220 untuk kata “untuk”. Retak yang lain, bagi saya yang ada di buku ini adalah di bab kedua, Dulu –ketika tokoh Saman kembali dibangkitkan oleh Ayu. Jujur saya merasa jengah ketika awal kali membacanya. Tanpa mengetahui jebakan misteri yang telah dipersiapkan oleh Ayu di belakang, saya menyayangkan kenapa tokoh Saman harus kembali dibangkitkan? Bab ini bahkan sempat saya lewatkan dahulu. Penilaian yang sangat subjektif mungkin. Tapi untungnya, Ayu bukanlah penulis simsalabim ala sinetron-sinetron televisi dimana dengan gampangnya orang buta yang kejedot pintu bisa melihat kembali. Atau seorang tokoh protagonis yang khusyuk ibadahnya, tiba-tiba mendapatkan banyak sekali keajaiban dalam hidupnya karena amal ibadahnya itu.
Segala yang menjadi misteri itu, dibuka oleh Ayu selapis demi selapis di bab terakhir, Kelak.
Terakhir, sebagai penutup resensi ini, sama seperti di Lalita, saya juga sangat terpukau dengan cover Maya. Kejeniusan Ayu dalam memilih perlambang yang pas untuk mewakili keseluruhan isi novel juga merupakan upayanya untuk menolak lupa. Yakni dengan merekontruksi kembali lukisan dua ahli botani Indonesia, Amir Hamzah dan Mohamad Toha yang semasa hidupnya bekerja pada Herbarium Bogoriense, Kebun Raya Indonesia, Lembaga Pusat Penelitian Alam, Departemen Pertanian. Kali ini Ayu memilih menggambar kantung semar (Nepthenes sp.) sebagai cover novelnya.
*) Stebby Julionatan, penulis, tinggal di Probolinggo - Jawa Timur, aktif dalam Komunitas Menulis (Komunlis) dan KSSI. Dapat disapa melalui akun twitter @sjulionatan atau email: sjulionatan@yahoo.com
Dari awal sampai akhir baca, menurut saya novel ini 'manis'.
Buku keempat karangan Ayu Utami yang saya baca, setelah Kisah Orang-orang Scorpio, Saman, dan Larung. Saya merasa sedang dalam track yang pas untuk memasuki Seri Bilangan Fu, setelah sebelumnya asyik dalam Dwilogi Saman, berhubung saya ini belum membaca Seri Bilangan Fu yang lainnya.
Membacanya, membuat saya bisa suka pada satu tokoh, dan begitu chapter berganti saya jadi suka tokoh yang lainnya lagi, dan juga bisa membuat saya jadi tidak suka pada tokoh yang saya suka sebelumnya. Di awal kisah saya tidak suka Yasmin, perangainya, tapi di ending fakta itu berubah, saya malah jadi suka! Saya jatuh hati pada Parang Jati sejak tokoh ini muncul, tapi menjelang ending rasa saya tadi memudar. Saya pernah suka juga Suhubudi, Maya, bahkan Tuyul! Mungkin ini semua karena memang tujuan Mba Ayu bukan untuk membuat kita memiliki tokoh kesukaan, tetapi demi menggambarkan perangai manusia seutuhnya dalam cerita. Tidak ada manusia yang hanya punya sisi positif tanpa keburukan, dan semua mahluk di bumi ini harus nrimo itu.
Buat saya, Mba Ayu sudah menjelma menjadi Dewa Penokohan.
Saya harus berguru soal menulis penokohan sama beliau kayaknya. Hahaha
Pengambilan judul Maya juga sudah pas untuk mengusung masalah kekerdilan yang mulai diangkat lagi dalam buku ini, setelah sebelumnya tokoh Upi yang sejenis muncul dalam Saman.
Direkomendasiin lah buat yang suka bacaan yang ada gaib-gaibnya. Hehehe.
Doa saya sih, semoga Seri Bilangan Fu selanjutnya nanti ada yang berjudul Shakuntala. Hehe.
Oia karena saya belinya yang cetakan pertama, masih banyak salah ketik ternyata. Gak banyak sih. Lumayan. Emang gitu ya kalo buku cetakan pertama? :)
Bacaan memang masalah selera, ya. Tetapi lagi-lagi saya nggak kecewa baca karya Ayu Utami terutama seri Bilangan Fu. Pemilihan diksi penulis buat saya sudah tidak bisa lagi diragukan - lugas, mengandung metafora dan kiasan, dan terkadang pilihannya tidak biasa. Namun, itulah yang saya sukai dari Ayu. Puitis, tetapi dalam kadar yang wajar, tidak berlebihan, tidak dibuat-buat.
Banyak buku populer sejenis yang menceritakan tentang peristiwa reformasi, tetapi buat saya Bilangan Fu dan serinya tetap selalu di hati. Belum lagi dipadupadankan dengan mistis Jawa, takhayul. Tokoh-tokoh Ayu selalu manusiawi, manusia yang bisa saya temui di sekeliling maupun di benak saya.
Di buku kali ini, Parang Jati dipertemukan dengan Saman pada suatu waktu. Rasa rindu saya sama si Parang Jati akhirnya terobati, lah, ya… dan dengan bantuan Parang Jati inilah Yasmin berusaha menguak teka-teki keberadaan Saman. Menarik. Karena tokoh-tokoh ini berasal dari seri berbeda, tetapi dipertemukan di dalam seri ini.
Belum lagi ada kisah Maya dari Klan Saduki. Entah mengapa saya ikut hanyut sama kisah dia ini. Sempat ikut-ikutan membenci Yasmin gara-gara dia😅
Pokoknya saya puas baca buku ini setelah sengaja saya simpan-simpan buat penawar rasa jenuh saat membaca bacaan lain.
Saman menurutku karya Ayu Utami yang terbaik. Pertama kali membaca karya Ayu ya Saman itu. Yang pertama memang selalu memberi kejutan, menarik, unik dan beda dari penulis lainnya. Kemudian lanjut dengan Larung, makin penasaran karena ditunggu-tunggu tidak ada kelanjutannya...tanggung. Aku pikir Larung adalah Saman, tapi ternyata tidak. Larung belum mengakhiri kisah Saman, semakin ingin tau bagaimana nasib Saman alias frater Wis.
Ketika Maya terbit, sebagai buku lanjutannya... jelas penasaran. Tapi ternyata Maya ini, menurut saya tidak menyelesaikan yang menggantung itu, malah buku ini semacam jalan untuk membuat nyambung antara serial Bilangan Fu dan Saman.Entah apakah akan ada kelanjutan berikutnya yo wislah, aku ra popo...engga menunggu juga. Ibaratnya, tayangan berita di TV saat jeda iklan, berita selanjutnya adalah berita menarik sehingga membuat kita menunggu dan tidak ganti channel...eh selesai iklan yang ditayangkan malah berita lain,seakan memaksa kita untuk terus menonton acara tersebut. ketika sampai diberita yang kita tunggu...isinya cuma begitu doang...gigi pada rapet dah...
‘Maya’adalah novel keempat dari seri ‘Bilangan Fu’. Novel ini menghubungkan seri ‘Bilangan Fu’ dengan novel dwilogi novel ‘Saman-Larung’. Tapi, aku lebih suka menyebut novel ini sebagai lanjutan dari dwilogi novel ‘Saman-Larung’.
Kenapa aku bilang begitu.. Karena di sini, tokoh yang disorot adalah Yasmin dan Saman (tokoh dalam dwilogi novel ‘Saman-Larung’). Sedangkan tokoh Parang Jati dan Suhubudi (tokoh dalam seri ‘Bilangan Fu’) hanya sekedar menjadi pelengkap saja.
Di novel ‘Maya’ ini, terdiri dari tiga bagian; Kini, Dulu, dan Kelak. Dan hampir 75% novel ini berisi pengulangan kisah Saman-Yasmin di novel ‘Saman’. Bagiku, yang sudah pernah membaca dwilogi novel ‘Saman-Larung’ ini cukup membosankan. Karena berasa membaca ulang kisah mereka kembali.
Makanya kenapa aku bilang, novel ini lebih cocok sebagai lanjutan dwilogi novel ‘Saman-Larung’ dari pada lanjutan seri ‘Bilangan Fu’.
Aku kasih 2 🌟 untuk novel ‘Maya’ ini. Jujur, aku pribadi kurang puas dengan karya Ayu Utami kali ini...
Buku Ayu Utami yang kukenal kali pertama adalah Parasit Lajang. Buku ini kocak, tentang perempuan yang enggan menikah hingga keluarga lelah menjodohkan dan membiarkannya. Buku berikutnya berjudul Larung yang merupakan kelanjutan dari Saman. Kupikir Saman dan Larung merupakan segmen tulisan Ayu tentang politik yang terpisah. Baru ketika membaca Maya aku terkejut, rupanya buku ini memiliki hubungan dengan Bilangan Fu.
Aku kurang suka akan Larung. Aku memang kurang begitu suka dengan buku yang mengupas politik. Entahlah menurutku politik itu abu-abu. Dalam Saman dan Larung yang dikritisi adalah pemerintahan orde baru yang dianggap sebagai masa kelam bagi aktivis dan mahasiswa. Aku tak begitu paham karena masa itu aku masih belia. Tapi kupikir kondisi setelahnya dan setelahnya lagi juga tak ideal. Ah sudahlah aku lagi enggan membahas politik.
Saman dan Larung satu dunia. Saman adalah sosok aktivis yang dulunya calon pastor. Sedangkan Larung sosok pria misterus yang terlibat dalam pergerakan bawah tanah. Keduanya bertemu dan bekerja sama. Lalu keduanya menghilang ketika membantu menyelundupkan mahasiswa.
Sementara Bilangan Fu menceritakan tentang pencarian Yuda, mahasiswa yang gemar mendaki pada suara yang pernah ia dengar pada saat setengah tidur. Pencariannya membuatnya mengenal sosok pemuda bernama Parang Jati yang asal usulnya unik. Ia memiliki enam jari dan ayah angkatnya seorang pimpinan padepokan yang akrab dengan dunia mistis spiritual. Bilangan Fu kemudian punya dunianya sendiri dengan tokoh Yuda, Parang Jati, dan Marja. Aku sudah membaca buku kelanjutannya seperti Manjali & Cakrabirawa dan Lalita yang akrab dengan candi-candi.
Kupikir cerita itu tak bertalian dan beda dunia. Ternyata Ayu kemudian memberikan jembatan dalam buku berjudul Maya. Jika membaca kisahnya maka latar waktu cerita tersebut setelah Larung dan sebelum Bilangan Fu.
Cerita pada Maya bersentral pada Yasmin, yang merupakan kekasih gelap Saman. Ia merasa putrinya, Samantha, adalah putrinya dari hubungan gelapnya. Ia merasa gemetar ketika menerima surat dan sebuah batu dari Saman yang tak pernah ketahuan kabarnya lagi setelah peristiwa penyelundupan mahasiswa aktivis tersebut.
Ia kemudian memutuskan mencari tahu lewat padepokan yang terkenal. Ia ingin berkonsultasi dengan Suhudi, yang rupanya adalah ayah Parang Jati.
Rupanya konsultasinya berlangsung unik, tanpa ada suara sama sekali dan lewat tulisan. Ia meminta batu itu disimpan di padepokannya karena batu itu mengandung sesuatu.
Di sana Yasmin kemudian berkenalan dengan Maya. Perjumpaan pertama begitu mengejutkan karena Maya adalah anggota klan Saduki. Siapakah klan Saduki?
Maya seorang penari yang berbakat. Ia sering menunjukkan kebolehannya menari sebagai Sita dalam bayang-bayang seperti dalam pertunjukan wayang. Ia tak menarikannya secara langsung di hadapan penonton. Hal ini dikarenakan sosok dan wujudnya yang dianggap berbeda bagi manusia ‘normal’.
Ia pendek dan umum disebut cebol. Kulitnya albino dan rambutnya tipis transparan. Wajahnya tak bisa dibilang cantik.
Sedangkan temannya yang berperan sebagai Rama juga sama cebolnya. Wajahnya mengerikan sehingga ia disebut Tuyul karena mirip dengan sosok makhluk halus tersebut.
Anggota klan Saduki bersosok seram dan ganjil. Mereka dibuang sejak kecil dan dikucilkan masyarakat. Ayah Parang Jati yang memiliki rasa kasih kemudian menampung mereka, membuatkan rumah dan memberi pekerjaan di lingkungan padepokannya, sangat jarang terekpos oleh manusia. Ia tahu manusia awam bakal sangat kejam jika melihat mereka atau malah ketakutan.
Kadang-kadang mereka juga muncul di sirkus sebagai sirkus orang aneh, sirkusnya klan Saduki. Entah kenapa mereka muncul dan dipertontonkan.
Bagian klan Saduki ini membuatku membayangkan seperti apakah padepokan itu. Aku jatuh hati pada karakter Parang Jati. Dalam cerita berikutnya ia menjadi sosok pemuda yang cerdas dan bijak. Ia tak memiliki kemampuan spiritual seperti ayah angkatnya, tapi ia memiliki welas asih sama seperti ayahnya. Pengetahuannya tentang candi-candi Jawa Timur dan Jawa Tengah itu hal menarik yang dibahas dalam buku berikutnya.
Dibandingkan dengan kisah Saman, aku jadi lebih tertarik dengan kisah klan Saduki dan Parang Jati. Kenapa Suhudi kemudian mengangkatnya jadi putranya?
Oh ya aku belum masuk ke ulasan buku Maya, aku baru mengupas beberapa karakternya yang ternyata berkaitan dengan karakter buku-buku Ayu Utami lainnya.
"Di sela-sela kemuliaan yang ingin kita menjadi, bahkan di pori-pori ketelanjangan kita yang indah sekalipun, ada yang kita tak mau akui. Keserakahan, kekerdilan kita. Sesuatu yang diam-diam kita tahu sebagai buruk. Tapi itu tidak menjawab kesedihan ini: bahwa ada manusia2 yang dilahirkan sedemikian rupa sehingga kita menyadari apa itu keburukan. Mereka mengangkat yang buruk dari alam bawah ke kesadaran. Kita pun melihat keburukan, dengan mata kasat. Mereka menyebabkan kita meragukan keadilan Tuhan. Seperti yang kau alami. Tapi, pada saat kita meragukan Tuhan karena mereka, tidakkah pada saat itu pula kita membuat mereka jadi berdosa? Kita bukan meringankan melainkan menambah penderitaan mereka. Kita justru melakukan ketidakadilan. Kita terjerumus dalam lingkaran setan. Jebakan si Iblis. Semua itu sungguh membingungkan. Bisakah akal budi mencerna keburukan?" (Yasmin - Halaman 243)
Seperti biasa, membaca karya ayu utami, saya selalu dimanjakan dengan kekayaan diksi dan simbol-simbol metafora yang sering membuat saya berhenti membaca sejenak, dan merenung.
Di buku ini Parang Jati benar-benar bertemu Saman. Ada rasa sedih berkepanjangan sejak saya mengakhiri Larung. Dan saya sedikit berharap ada keajaiban yang membahagiakan di buku ini. Sayangnya, saya baru ingat kalau sebagian besar novel Ayu Utami berakhir sedih. Ups, maaf spoiler. Tapi tenang, kesedihan itu disajikan dalam diksi-diksi yang menghibur dan menenangkan hati.
Tapi ada yang saya rasa janggal, atau yang sering saya sebut 'Nggak Ayu Utami banget', yaitu hubungan Yasmin dengan Maya sendiri. Pendekatannya dengan hubungan Saman-Upi agak terasa dipas-paskan. Tapi tak apa.
Btw, in review macam apa ya? Entahlah. Saya hanya sedang ingin memakai bahasa baku romantis-romantis puitis. Mungkin efek membaca MAYA. Semoga seri Bilangan Fu selanjutnya segera keluar.
Saya beri 3,5 bintang. Terlalu sedikit kalau tiga bintang, tapi Bilangan Fu jelas masih menjadi juara. Jadi yaa tiga setengah bintang saja.
Aku suka cara Ayu Utami menguraikan filosofi jawa dalam novelnya ini. Seperti juga dalam Bilangan FU. Jawa yang mengadaptasi Hindu dan Budha, kisah Ramayana dan mahabrata, namun juga menciptakan tokoh Semar didalamnya, memangkas adegan-adegan yang terkesan kejam dalam relief-relief candi, dan juga kisah lain dari candi prambanan.
Jawa menjadi begitu menarik, sekaligus juga...menggemaskan. Terutama dalam hal Mistisme.
Pada satu titik, aku merasa gersang sekali dengan pengetahuan tentang Suku ku sendiri, Suku Toba. Betapa dangkalnya pengetahuanku kisah-kisah budaya dan makna-makna yang terkandung didalamnya.
Maya, adalah salah satu tokoh dalam novel ini, tapi bagiku tema sesungguhnya adalah sesembahan Maya yaitu: Eyang Semar. Agaknya Karena itu lah gambar novel ini adalah Kantung Semar. Dalam kisah ini akan kau temukan kaitan antara Eyang Semar, dan Super Semar (surat perintah sebelas maret), yang sangat misterius di era Orde Baru itu. Aku sendiri terkejut dengan kaitan keduanya. Begitu kuatkah makna sebuah Kata? seperti mantra dalam rapalan.
Seperti juga Maya, semar sendiri adalah Maya. Ada namun Tiada.
"Akhirnya aku bisa mencintaimu dengan cinta seorang perempuan kepada lelaki yang dilukai. Perlahan-lahan aku akan mengerti tentang ketelanjangan yang pernah kau katakan. Ialah ketelanjangan di mana birahi tidak dicari, tapi juga tak disangkal. Ada cinta di mana kita tak menyentuh."
Membaca buku ini membuat pikiran saya terbuka mengenai hakikat mencintai. Tak hanya cinta kepada lawan jenis, tapi cinta pada sesama—manusia yang mungkin tak sama seperti kita, yang dunia sebut sebagai buruk rupa. Kemudian, apa yang menurut kita baik/membahagiakan, belum tentu sama untuk orang lain—mungkin mereka menganggapnya sebagai ejekan, merendahkan, menjengkelkan. Perspektif orang berbeda-beda.
Buku ini membuat saya sadar bahwa selama ini saya juga mempunyai dosa, terutama sikap ignorant. Adapula, saya menjadi merasa "Ah, sepertinya saya harus lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan alam semesta. Lantas memaknainya. Setiap pergerakan adalah tanda."
This entire review has been hidden because of spoilers.
Sebagai penggemar karya-karya Ayu Utami, saya kembali dibuat belajar banyak hal dari serial Bilangan Fu yang ke-3 ini. Belajar tentang sejarah Indonesia dan belajar bagaimana memanusiakan manusia. Hanya saja, Maya sebagai tokoh yang namanya dijadikan judul, kurang mendapat peran yang memadai. Terlalu sedikit perannya dalam cerita. Itu saja, selebihnya, seperti biasa, saya suka.
Membosankan untuk dibaca, seperti mendengarkan orang yang bicara ngalor ngidul gak jelas. Terasa gak nyambung dengan seri sebelumnya, hampir saja jadi unfinished reading
HAH AKHIRNYA BISA KASIH BINTANG LIMA UNTUK AYU UTAMI LAGI, setelah belakangan dibikin "ngganjel" sama serial Bilangan Fu.
Maya adalah "crossover" dari Serial Bilangan Fu dan Dwilogi Saman. Parang Jati tetap ada, tapi alih2 Marja dan Sandi Yuda, di sini ia berinteraksi dengan Yasmin, salah satu tokoh cewek dari Saman.
Dan perubahan komposisi tokoh itu saja sudah bikin aura ceritanya beda banget.
Pertama, Parang Jati jadi lebih manusiawi. Dia bukan cuma kamus bijak berjalan. Sebaliknya,di sini dia lebih mirip pemuda "normal" lainnya: suka nekad, awkward, gugup, dan bertindak bodoh. Asyik aja gitu membaca bahwa ternyata dia juga tidak sempurna2 amat :P
Kedua, alur cerita. Di dua serial yang lain (Manjali dan Cakra Birawa; Lalita) Ayu Utami seakan memunculkan banyak masalah di depan kemudian menyelesaikannya di belakang dengan sangat antiklimaks di belakang buku; dengan sebelumnya "mendistraksi" pembaca melalui kisah lain (yang seringnya samasekali tidak nyambung tapi disambung2in) di tengah2. Sepertinya rumus penceritaan serial ini memang begitu.
Maya mengambil pola yang sama, tapi kali ini cerita sisipannya masih nyambung ke cerita utama secara keseluruhan. Mungkin karena cerita sisipan itu disupport oleh cerita Saman, yang sudah berdiri sebagai novel mandiri. Mungkin Ayu Utami agak kesulitan menyusun pembukaan-konflik-penutup di novel2 tipis; padahal banyak sekali yang ingin ia ceritakan. Tapi, karena Maya sudah disupport oleh DUA novel dari serial lain, basis plotnya jadi lebih kuat.
That being said, kamu harus lulus membaca Saman dan Larung dulu sebelum membaca Maya. Karena terlalu banyak bagian Saman yang direferensi, yang akan membingungkan jika tidak membaca bukunya dulu.
Next, pesan moralnya.
Tentu saja misi utama serialisasi ini adalah menggugah pikiran2 tentang spiritualisme bagi pembacanya. Topik yang diangkat setiap buku berbeda, tapi topik Maya yang paling mengena bagi saya. Buku ini mengajak kita mempertanyakan apakah arti "keburukan" dan "keindahan" yang sebenarnya.
Oiya,bonus tambahan;tokoh kesukaan saya,Suhubudi, dibahas dengan lebih gamblang di sini.Bahkan di satu sesi sempat ada sudut pandangnya. Jadi berharap suatu saat dia akan mendapat screentime lebih banyak :")))
Maya (Seri Bilangan Fu) - Ayu Utami. Ini kisah tentang Maya dalam seri Bilangan Fu, mengiringi kisah Lalita sebelumnya. Kalau Lalita khusus membagi kenangan dan perburuan Kearifan Jiwa melalui ziarah Borobudur yang dijalani Lalita, maka Maya lebih mengajak berkilas balik tentang Menungsa Liyan. Maya adalah kisah-kisah terpotong-potong tentang Yang Lain, diwakili oleh manusia-manusia yang tersingkir dengan macam musabab. Sebagian adalah karena bentuk fisiknya, sebagian adalah kerana kejiwaannya. Mereka dianggap tidak ada, tidak hadir. Pun kalau hadir, mereka dianggap mengganggu, menakutkan, atau membahayakan. Orang-orang yang menganggap dirinya normal, berharap tidak pernah bertemu mereka. Hanya orang-orang terpilih, orang yang sudah menep, yang akan mampu memahami mereka sebagai keindahan. Memperlakukan mereka sebagai bukan Liyan. Seperti gurunya Parang Jati, Kyai Suhubudi, yang mampu menjalin hubungan baik dengan mereka. Bahkan menyediakan tempat hidup dan memberi mereka kehidupan. Meskipun akibatnya Kyai Suhubudi menjadi orang yang dicurigai mengingkari yang normal, melawan pembangunan, melawan pamarentah. Ya, memang yang berbeda cenderung dicurigai. Terkadang ditakuti. Yang mampu hidup berbeda biasanya memiliki keteguhan sendiri untuk terus berbeda. Berbeda dengan Lalita, kisah Maya ini bagiku agak susah diikuti. Karena bagian-bagiannya yang terpotong-potong, melompat-lompat, membuat pembacaannya harus sampai tuntas, sampai halaman akhir. Agak terbantu jika pembacaan buku ini dilakukan setelah membaca Saman, Larung, dan Bilangan Fu.
Buku ke-4 dari Ayu Utami yang saya baca, this book is really interesting because talk about the spirituals community (especially the Javanese) and how a signs present a meaning. Saya merasa dalam buku ini, penulis mencoba menerangkan bagaimana seringkali masyarakat melupakan makna dari sebuah tanda karena dikuasai oleh pikiran yang mengacu pada rasionalitas. Dibalut dengan wacana romansa yang terjadi antara tokoh Yasmin dan Saman, buku ini mampu menarik perhatian pembaca untuk mengetahui apa yang terjadi pada keduanya tanpa bisa menebak bahwa sebenarnya cerita romansa dari kedua tokoh tersebut hanyalah sampul bagi penulis untuk menghadirkan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi di kehidupan kedua tokoh tersebut. Penghadiran tokoh dari dua seri buku sebelumnya (Saman dan Larung & Bilangan Fu) menjadikan buku ini tampak sebuah cerita baru dalam satu universe, meski begitu tokoh-tokoh baru (terutama tokoh Maya) terasa tampak hanya sebagai figuran yang jika dihilangan tidak akan berdampak besar bagi alur, saya merasa tokoh Maya hanya sebagai pelengkap cerita yang bertugas menerangkan sisi spiritualitas. Pada bagian menuju akhir juga buku ini belum mampu menjawab pertanyaan awal "apa yang terjadi pada Saman" secara eksplisit namun setidaknya penulis menghadirkan wacana sejarah politik sehingga pembaca mampu menerka sendiri akan apa yang terjadi pada tokoh Saman.
Maya merupakan novel karya Ayu Utami yang merupakan project pengembangan dari Novel Bilangan Fu. Pada series Maya ini menceritakan tentang kisah Yasmin dalam menelusur pesan dari surat-surat yang diberikan oleh Saman yang seharusnya ia terima 2 tahun yang lalu. Berbekal surat-surat tersebutlah Yasmin mengunjungi padepokan Suhubudi bersama Samantha (putri semata wayangnya). Dipadepokan itulah ia bertemu dengan Parang Jati, putra sang guru kebatinan (Suhubudi) dan juga dengan Maya (salah satu anggota dari grup sendratari pimpinan Suhubudi).
Novel ini berlatar belakang waktu di tahun 1998 dan kental sekali dengan polemik politik kekuasaan, orde baru dan juga membahas tentang mitos keterkaitan antara peristiwa Supersemar dan batu akik Supersemar. Bagi saya, cukup disayangkan justru "spotlight" yang harusnya bisa didapatkan lebih oleh Maya sebagai tokoh dalam novel ataupun arti "Maya" sebagai perumpamaan yang dikaitkan dengan punakawan dan hal-hal perwayangan Jawa, alih-alih justru hanya seperti dibahas seperlunya. Karena selebihnya cerita akan berkutat tentang kondisi politik ditahun 1998 tersebut.
Novel ini adalah lanjutan dari seri Bilangan Fu, tapi saya lebih merasa ini lanjutan dari Dwilogi Saman. Kisah cinta segitiga antara Parang Jati, Sandi Yuda, dan Marja tidak diceritakan sedikitpun dalam novel ini. Dalam Maya, Ayu malah melemparkan pembacanya untuk mengenang Saman, ceritanya dimulai ketika Yasmin menerima surat beserta sebuah Batu Akik dari Saman yang dinyatakan hilang, untuk menjawab itu Yasmin terpaksa pergi ke Padepokan Suhubudi, ayah Parang Jati. Dan Yamin terlibat berbagai kejadian di situ. Bersetting tahun 1998 dan mengangkat peristiwa Mei dan Supersemar hingga jatuhnya Presiden Soeharto. Seperti biasa Ayu utami selalu menyelipkan bahan sejarah dalam karyanya, tapi diatas segalanya yang membuat saya menyukai novel ini adalah tulisan dari Ayu sendiri yang selalu manis dan dalam Maya unsur itu tidak luntur.
Saya tergerak membaca ulang Saman saat tidak sengaja semeja dengan Mbak Ayu waktu makan kudapan di UWRF tahun lalu. Saya pertama kali terpapar karya Mbak Ayu mungkin 10 tahun lalu saat saya kelur dari kabupaten sendirian sebagai mahasiswa. Ternyata Saman begitu mengubah banyak, diantara bangunan dekonstrusi tersebut kini saya berdiri.
Saya memilih membaca ulang terbaik, saya memulainya dari Maya yang sebenarnya sungguh ajaib sebab hari ini saya punya pekerjaan yang kurang lebih mirip dengan Yasmin alias lawyernya para aktivis. POV nusantara adalah jawa semakin hari semakin kental. Kegagalan dekolonialisasi ternyata membuat kita kerdil dan memang benar-benar mengkerdilkan diri.
Ini bacanya ngawur lagi, ga sesuai urutan. Setelah Manjali & Cakrabirawa lalu Maya. Tetap menarik karena memanggil kembali kisah Saman (dan Larung). Tapi asli aku lupa sama sekali sama cerita Larung -_-. Pesan dari buku ini, bahkan niat & perbuatan baik kita jatuhnya bisa jadi ga baik. Lalu apalagi sisanya kalau bukan kesedihan. Kalau di kasusku terkejut lalu sedih T_T. Tapi kenapa susah sekali untuk memaklumi? Dan memaafkan? Memaafkan entah siapa, karena g ngerti juga siapa yang salah. Dan menjadi paling gampang untuk menyalahkan diri sendiri lalu ke depan jadi lebih waspada untuk berbuat baik daripada malah menyakiti diri sendiri. Sekian review yang beralih menjadi curhat.
Maya adalah sebuah cerita tentang kesedihan, tentang kehilangan, dan kegeraman yang ada dalam jiwa manusia. Sepanjang cerita, kita disuguhkan oleh berbagai bentuk kesedihan dari tokoh yang terlibat di dalam buku ini. Bagaimana mereka menyikapi kesedihannya dan berusaha berdamai dengan itu. Lewat tokoh Yasmin dan Maya, kita bisa melihat perang batin yang mereka alami. Tentang rasa kehilangan dan kerinduan pada sang kekasih yang hilang. Tentang perasaan kerdil yang menghantui. Ayu Utami menghadirkan dialog batin yang mampu membuat pembaca memahami perasaan para tokoh.
excited di awal, agak bosan di tengah sampai akhir. cukup mengobati rindu akan saman-larung, meskipun tak banyak dibahas kecuali tentang surat-surat saman. menjelang akhir, jati diri larung si misterius mulai terkuak. dan endingnya... saya ingat sekali paragraf-paragraf akhir dalam buku saman begitu panas dan menggebu, tapi di sini deskripsi cinta yang lembut dan tulus oleh yasmin menjadi penutup yang membingungkan--bahagia ataukah sedih?
Ayu Utami is one of my favorite authors. I’ve read her Saman and Larung for God knows how many times, and I can’t stop recommending them to many people.
I started Maya first (out of all books in Bilangan Fu series) just because it connects to the aforementioned books. To be honest, I expected more from this - I wished Yasmin would find the answer to Saman’s whereabout. Though it’s also not disappointing, as I am already familiar with her eccentric themes.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Jangan terlalu berharap banyak akan tahu nasib seorang saman di buku Maya ini. Meskipun Maya adalah penghubung antara Bilangan Fu dan dwilogi Saman-Larung, tapi keberadaan dan bagaimana Saman tetap tidak ada yang tahu. Dan jangan juga berekspektasi besar seperti ketika membaca Bilangan Fu ataupun Dwilogi Saman-Larung.
Capek bener rasanya baca buku ini. Dari ketiga buku sebelumnya, buku ini terasa melelahkan buat saya. Terlalu banyak kisah dunia spiritual yang dihubung-hubungkan. Roh nusantara, batu supersemar dihubungkan dengan sejarah reformasi, belum lagi soal candi. Ya, walau begitu, akhirnya selesai juga buku ini saya baca.
ada yasmin di sini. ia mencari saman yang hilang usai usaha membawa kabur dua orang lain bersama larung gagal. di sini ayu mempertemukan ia dengan parang jati berumur duapuluhdua tahun dan suhubudi, yang cuma bisa diceritakan ia isi hatinya dengan tulisan tangan.