Sewaktu ramai-ramai Reformasi, saya terlalu kecil untuk paham dan mengerti. Apalagi saya tinggal di kampung kecil di Jawa dan cukup homogen, dan tidak makan daging sebagai lauk sehari-hari. Jadi ya terasa tidak banyak berubah, meski krismon sering disebut-sebut di sekitar.
Delapanbelas cerita pendek dari enam penulis perempuan yang terkumpul di Tank Merah Muda ini menceritakan cerita-cerita pasca reformasi yang tidak ada di media. Cerita-cerita yang tercecer dan tersebar dari ujung-ujung Indonesia melalui ingatan para perempuan. Reformasi, sebuah perubahan yang ternyata mahal. Perubahan yang tidak hanya tentang turunnya Soeharto dan keramaian di kota-kota besar di Jawa. Di sana-sini ada banyak hal yang suram. Terus terang, sesak bacanya. Baca cerita berjudul "Kucing Hitam dan Empal Daging" saja bikin saya berpikir yang nggak-nggak tentang daging dan kucing (SPOILER: nggak kok, untungnya, tapi tetap bikin trenyuh.)
Buku ini membuat saya banyak berpikir: tentang negara ini yang tak kunjung membuat rakyatnya bahagia seluruhnya (apalagi baca di zaman pagebluk, dengan tingkah politisi dan pemerintah yang begini, menjelang perayaan kemerdekaan pula), tentang keluarga dan kebutuhan akan hidup, sampai tentang apa kabar luka yang ternyata masih ada menyisa. Bikin mengusik pikiran, lalu kelelahan. Entah kenapa baca buku-buku fiksi sejarah Indonesia malah bikin pesimis.
Terima kasih Perkawanan Perempuan Menulis, sudah menuliskan ini dan membagikannya gratis (iya, kamu bisa mengunduh *.pdf Tank Merah Mudah di situs mereka).
Melihat masa jelang Reformasi lewat pirsa dan rasa perempuan-perempuan di daerah-daerah yang seringkali luput dari sejarah. Sebab Reformasi kerap kali dituturkan dengan begitu Jakartasentris. Kudos untuk Mbak Raisa dan kawan-kawan, berharap bisa melihat cerpen-cerpen seperti ini lebih banyak lagi di kemudian hari.
Dalam kumpulan cerpen Tank Merah Muda, Raisa Kamila dan kawan-kawan hendak menunjukan realitas kelam yang barangkali tak banyak diketahui atau malah berakhir menjadi isu sensitif sampai hari ini.
Kebanyakan cerpen dalam Tank Merah Muda mengambil latar konflik sosial semisal; gerakan aceh merdeka, peristiwa berdarah ambon sampai atambua, hingga ke ranah paling domestik, yaitu rumah dan tetangga.
Yang membuat kumpulan cerpen ini menjadi sangat penting adalah karena sisi humanis yang diangkat oleh para penulis dengan sederhana, alih-alih membuatnya runyam agar terlihat meyakinkan.
Akhirnya, kumpulan cerita ini terasa hangat sekaligus pedih di saat bersamaan. Kabar baiknya kumpulan cerpen ini bisa didapatkan secara cuma-cuma di sini:
Apa yang kamu ingat mengenai reformasi? aku, hmm..tidak banyak dan tidak paham. Yang kuingat hanya tentang demo dan demo dan demo, kerusuhan di mana-mana yang diakhiri dengan lengsernya sang presiden, dan krismon. Saat ibuku bilang, mungkin tahun ini kami nggak bisa belanja baju lebaran aku senang, karena belanja baju lebaran itu mem-bo-san-kan.
Tank Merah Muda merupakan kumpulan cerpen yang ditulis oleh para penulis perempuan Indonesia dengan latar asal-usul dan budaya yang bagiku beragam. Aceh, Sulawesi, Timor Leste, singkatnya daerah-daerah yang sebetulnya sangat merasakan dampak dari reformasi, namun jarang terdengar suaranya. MIsalnya, aku baru tahu bahwa saat Soeharto lengser, banyak suku Jawa warga Aceh yang buru-buru mengungsi karena desas-desus meyakinkan bahwa Aceh akan merdeka (dan orang-orang Aceh sangat tidak suka pada orang Jawa). juga tentang konflik agama yang terjadi di wilayah Nusa Tenggara dan Timor Leste. Etnis Tionghoa juga salah satu kelompok yang paling terdampak; kendati mereka berada di wilayah relatif aman, tapi hari-hari mereka diliputi kedatangan berbagai ancaman menakutkan.
Menemukan buku ini rasanya seperti menemukan harta karun. Isinya bukan hanya bercerita tentang masa 'itu' di tempat yang 'lain', namun juga dipaparkan dari sudut pandang para perempuan baik anak-anak maupun perempuan dewasa, topik yang juga masih jarang diangkat. Di bagian epilog, ada cerita tentang bagaimana proses penulisan buku ini, termasuk mengumpulkan para penulis dan bagaimana mereka melakukan riset. Cerpen-cerpennya sederhana bahkan beberapa sangat singkat, tetapi terasa personal dan sangat menggugah.
Catatan untuk diriku sendiri (karena belum sanggup membuat review): 1. Cerita-ceritanya membuat saya terenyuh. Menyadari & mencoba memahami pengalaman perempuan2 di Indonesia dari berbagai usia dan latar belakang di tengah2 situasi sekitar 1998 (konflik, "perang", krisis moneter, reformasi). Dan yang paling menyentakku: cerita-cerita ini adalah "keseharian" manusia-manusia di masa itu. 2. Menjawab sebagian dari rasa penasaranku tentang konflik di Timor Leste (dan keadaan NTT) & Maluku. Jarang yang membicarakan soal konflik-konflik ini kalau membicarakan 1998. Juga tentang perempuan (terutama Tionghoa) di tempat-tempat lain. Kerap kali, orang fokus pada krismon, Soeharto, gerakan mahasiswa, dan reformasi. PR/Pertanyaanku yang belum terjawab: konflik di Kalimantan. 3. Epilog yang sangat amat ciamik. Berbicara tentang perempuan & tempat2 yang orang Jakarta biasa sebut "daerah" dalam narasi sejarah/memori.
Buku ini sangat menambah sudut pandangku tentang apa yg terjadi pada masyarakat dari masa Orde Baru hinga Reformasi. Sebagai perempuan dari ujung Timur hingga Barat Indonesia, memang kita belum sepenuhnya MERDEKA🙂
Beberapa kisah yg lumayan membekas untukku yaitu: 1. Cerita dari Belakang Vihara oleh Raisa Kamila. 2. Gonjang-ganjing Guminting oleh Amanatia Junda 3. Gedar-Gedor oleh Ruhaeni Intan
Buku ini tidak hanya berbicara ttg Perempuan! Akan tapi banyak isu sosial yg mengakar hingga perlakuan budaya2 kuno masih di pergunakan hingga zaman modern ini. Dan aku sangat setuju dg pernyataan penulis bahwa: “Keadaan hari ini adalah bentuk yang lebih ekstrem daripada saat itu: di satu sisi, kesadaran perempuan terhadap kesetaraan yang mengakar dari prinsip-prinsip feminisme semakin menguat, sementara, di sisi yang berbeda, penolakan terhadap gagasan kesetaraan dan partisipasi perempuan dalam praktik ekstremisme serta konservatisme agama juga semakin meluas.” 👏🏻
Baca kumpulan cerpen ini karena ini buku yang dipilih untuk bulan Februari oleh bookclub saya.
Saya masih terlalu kecil pada tahun 1998 untuk mengingat dan memahami apa itu "krismon". Orang tua dulu cuma bilang "Bakar-bakaran udah ngga ada ampun. Toko-toko pada tutup. Kita yang di kampung aja ngerasain bebannya, gimana yang di Jakarta coba?" Begitu dulu kata-katanya.
Melalui cerpen yang terkumpul dalam buku ini, saya bisa melihat bagaimana tiap-tiap orang memiliki gambarannya masing-masing tentang apa itu kelam, kerusuhan, bagaimana dampaknya pada keluarga, dan lain sebagainya. Terlebih lagi sudut pandangnya dari sisi wanita yang kebanyakan kurang berdaya dan menjadi korban dari segala keadaan.
Dua kombinasi sempurna antara penulis dengan isu yang diangkat. Kumpulan cerpen dengan sudut pandang perempuan ini termasuk "berani" dalam menyuarakan kejadian yang mereka alami selama era reformasi, jujur jadi deg2an. Ditambah di bagian epilog yang mengulik bagaimana proses para penulis dalam menuangkan riset ke dalam sebuah cerita yang menurutku sangat entertaining. Kumpulan cerpen ini sukses mengaduk2 perasaankuhh, dari lucu, sedih, hingga marah. Top three cerpen favoritku itu Cerita dari Belakang Wihara, Cerita dari Sebelah Masjid Raya, dan D-U-I-T. Momen2 bingung, gelisah, dan pasrah kerasa sampe sini. Salah satu kutipan yang aku suka : Sampai kapan kita akan mengamini adagium George Santayana bahwa, “mereka yang mengabaikan masa lalu akan dikutuk untuk terus mengulanginya”
Ada beberapa cerita dengan akhir yang menyesakkan dan seolah terputus begitu saja. Namun apakah ini kerja dari ingatan ketika sedang menggali sebuah trauma masa lalu? Narasi-narasi yang berkeping-keping dari sejarah bangsa yang juga seolah tak pernah selesai. Semacam duka yang berkepanjangan namun jarang sekali dibicarakan.
Saya rasa Raisa dkk berhasil secara perlahan, menyusun keping-keping yang terserak ini, mempertanyakan dengan sungguh-sungguh apa sajakah yang dirasakan oleh sekian perempuan di berbagai tempat di Indonesia pada masa Reformasi. Sebuah momen transisi yang genting dari suara-suara yang jauh dari pusat kekuasaan namun kuat dirasakan dalam keseharian. Saya rasa disinilah kekuatan mencari benang merah ketika yang politis menjadi personal.
Clearing some books read earlier this year as part of a now-defunct book club (sad). Did not remember what I think about most of them but here goes.
A collection of short stories mostly starring women and set around late OrBa and early Reformasi, in various places in Indonesia.
I love this book, and not just because it's free. Sad that I didn't make notes when I read it, might reread next year and give it a more thorough write-up. I liked "Cerita dari Belakang Wihara" the most, and its portrayal of changing social conventions through a child's eyes. Excited to reread this since I just bought Raisa Kamila's "Bagaimana Cara Mengatakan Tidak?", which I think also contains the short.
I beg y'all to give this kumcer a try (It's free! Maybe buy it for the support though)
Hal pertama yang terlintas di pikiran saya saat membaca kumpulan cerpen ini adalah "mereka yg nulis, saya yg takut kenapa2 bacanya". Sekeren itu! Ini pertama kalinya saya membaca cerpen fiksi-sejarah yang sangat hidup, sangat mengerikan, memilukan, dan bikin ketagihan. (Entah kenapa sejumlah cerita juga terasa sangat "relate" kalau tidak ingin dibilang "mirip" dengan situasi masa kini). Buku yg sangat apik dalam mengemas cerita2 sekaligus menjawab keping2 pertanyaan saya sendiri terkait era awal reformasi. Bisa menjadi bahan belajar sejarah tambahan yg menarik dan tak membosankan juga. Hats off
Sebagai anak yang lahir dan besar dalam rentang waktu yang digunakan dalam kisah-kisah di buku ini, saya merasa inferior. Banyak hal yang tidak saya ketahui. Saya tahu istilah 'krismon' tapi tidak pernah benar-benar paham apa itu dan dampaknya. Sepanjang ingatan, hidup saya dan keluarga selalu berkecukupan. Tidak mewah, tapi tak pernah sampai tak bisa makan. Sebuah kesyukuran, namun saya tahan dengan pemahaman bahwa di luar pekarangan rumah mungil kami dahulu, ternyata begitu banyak korban jiwa berjatuhan dan hanya menjadi sebatas 'angka'.
Ada beberapa cerita yang menggunakan bahasa daerah sehingga agak sulit dipahami. Benar-benar membuat emosi, sedih, campur saat membacanya. Ceritanya tidak jauh dari realita kehidupan kita. Perempuan-perempuan disini mengalami konflik yang luar biasa. Perannya sangat besar hingga dapat dirasakan deritanya. Perempuan tidak luput dari diskriminasi dan seks. Buku yang bagus..
membaca buku ini seperti mendengarkan seorang kawan bercerita tentang pengalaman masa kecilnya atau kampung halamannya beserta segala kekayaan legendanya. riset yang bagus terlihat dari bagaimana para penulis menjelaskan latar belakang sebuah cerita. . menunggu cerita-cerita selanjutnya.
Ketika mengetahui bahwa kumcer ini bisa saya baca dengan gratis dan saya langsung tertarik dan selain itu insting saya mengatakan bahwa kumcer ini akan bagus isinya!
Ternyata firasat saya tidak salah sejak dari halaman pertama sampai akhir buku ini berhasil menghipnotis saya dengan tema-tema yang membuat saya teringat akan masa lalu. Jaman krismon yang dimana semua harga barang naik dan terjadi kerusuhan, bahkan sampai dengan Wanita di Aceh harus menaati syariat islam yang saya rasa ini menyentil pemerintah daerahnya di kala ini. mata saya juga berhasil dibukakan dengan adanya konflik-konflik di Indonesia Timur yang saya tidak tahu sebelumnya karena saat itu isu di pulau jawa yang lebih disoroti. Saya membaca buku kumcer ini jadi sedih sendiri dimana toleransi yang sebelumnya melekat dari bagian negeri ini sekarang mulai luntur seiring waktu. Saya rekomendasikan kumcer ini dibaca untuk semua kalangan dan agar lebih memahami agar kejadian yang sudah lama tidak terulang kembali :'((
Memang ada beberapa cerita yang bikin kesal karena ending-nya berasa absurd bgt (ibaratnya kayak nonton mukbang tapi videonya udah keburu selesai ketika orangnya baru mau nyuapin makanan ke mulut).
Etapi juga banyak cerita yang bikin deg-degan. Bahkan saking deg-degannya kalau ceritanya dijadiin film thriller kayaknya bakal oke punya 😁 Good tension build up!
Cerita yang paling berkesan untuk saya adalah Cerita dari Sebelah Masjid Raya.
Perihal ending absurd sebenarnya akan dijelaskan di bagian epilog: "Menulis fiksi sejarah ternyata memang tidak mudah. Penulis, sampai batas tertentu, harus bersetia pada kronologi dan detail keadaan serta kejadian masa lalu."
Terima kasih kepada Kak Raisa, Natia, Intan, Ratih, Tuty, dan Dhany serta segala pihak terlibat yang memperbolehkan kumpulan cerita pendek ini bisa diakses secara bebas (silahkan cek website Cipta Media Ekspresi)!
Kumpulan cerita mengenai masa reformasi ini dapat memperluas wawasan kita sebagai bangsa Indonesia yang tentunya beragam. Selama ini mayoritas kejadian terkait reformasi yang diberitakan di media massa selalu berpusat di ibu kota Indonesia yaitu Jakarta. Tanpa disadari bahwa dampat dari reformasi ini juga menjalar sampai ke Indonesia bagian Timur. Kumpulan cerita ini memusatkan perhatiannya pada kejadian-kejadian yang menimpa para perempuan yang harus mengubah kegiatan sehari-harinya, bahkan ada yang sampai menjadi paranoid karena takut adanya bentrokan massa. Hal itu yang membuat buku ini unik karena diceritakan dari sudut pandang wanita mengenai kejadian reformasi di wilayah Indonesia Timur.