Mungkin aneh bin gila buat sebagian besar orang Indonesia kalo ada cewek yang jalan-jalan sendirian, berminggu-minggu, nggak ada tujuan jelas...pasti pada mikir macem-macem. Yap, itu semua yang aku alami. Aku, seorang cewek, yang udah menjelajahi hampir seluruh pulau di Indonesia, dateng ke sudut kota yang mungkin namanya aja nggak pernah kalian denger..he..he...and, aku sendirian bo! Aku cewek biasa, g cantik-cantik amat, bukan anak orang kaya dan bukan orang kaya yang memilih untuk keluar dari tempurungnya, untuk mencari cinta. Dalam petualanganku, aku bertemu banyak orang dari berbagai bangsa, agama, suku, dan kebudayaan. Dari mereka, aku belajar banyak hal. Aku menemukan makna kehidupan. Aku belajar lebih mencintai alam dan manusia. Itu semua yang bikin aku semangat nulis novel ini. Aku ingin membagikan pengalamanku buat semua orang. Dan aku harap kalian yang baca novel ini bisa dapet banyak hal and mudah-mudahan jadi terprovokasi buat backpacking! So, pack your bag, and go backpacking… See you sometimes in my next journey!!
PS: Novel ini adalah kisahku selama lima belas tahun on and off ber-backpacking solo di Indonesia dan 30 negara lainnya.
Ternyata ya, sesuai dengan judulnya, novel ini adalah jurnal sejurnal jurnalnya. Kadang-kadang rasanya seperti membaca buku harian orang lain, karena Naneng Setiasih nggak ragu-ragu cerita tentang pertemuannya dengan para bule, imajinasi liarnya bersama mereka, nyobain cimeng, mushroom...
Jadi novel ini bercerita tentang pengalaman Naneng berkelana sendirian sebagai backpacker menyusuri nusa tenggara dan kemudian sumatera. (Di buku kedua dan ketiga rencananya cerita tentang perjalanan di Asia dan Eropa). Saya adalah penggemar berat para petualang nekat seperti dia, makanya buku-buku perjalanan semacam ini sebisanya ingin selalu saya koleksi.
Nah, khusus yang satu ini, saya punya kesan yang campur aduk tentang si penulis. Saya kagum banget sama perempuan pintar yang mengklaim sejak kecil dirinya dianggap aneh oleh lingkungan karena tidak se'perempuan' tetehnya yang cantik dan ayu. Dia hitam, ceking, pembangkang, ikut pencak silat dan pencinta alam, juga memilih masuk ITB yang kala itu hanya berisi segelintir perempuan. Dia selalu mempertanyakan ajaran agama, norma sosial, lembaga perkawinan, persamaan derajat lelaki vs perempuan, eksistensi manusia, dsb, dst. Dan dalam perjalanan itulah dia menemukan jati diri serta tujuan hidupnya.
Novel ini sangat menarik di bagian-bagian kisah perjalanan, ketika Naneng melintasi Nusa Tenggara dengan motor offroad dari Denpasar, ketika bertemu tempat-tempat indah yang damai, ketika berteman dengan dua anak di Nias yang namanya unik, Perubahan dan Rencana :D Hal-hal semacam itu...
Novel ini juga cukup menarik di bagian ketika Naneng menyisipkan ilmu dan fakta tentang lingkungan alam yang dia singgahi. Seperti fakta tentang paus, hiu, pembalakan, terumbu karang, dsb. Walaupun kadang-kadang penempatannya menurut saya nggak pas. Waktu dia cerita otaknya korslet ngeliat bule seganteng Brad Pitt, tiba-tiba aja ada catatan kaki tentang cara kerja otak manusia...Jadi sebagai seorang master bidang ekologi, sepertinya Naneng ingin juga memanfaatkan novel ini untuk memperkenalkan banyak hal/ilmu tentang lingkungan dan manusia. Ide yang bagus banget sebenarnya, tapi jadinya novel ini agak ke sana kemari karena sering banget pindah-pindah topik. Nggak terlalu masalah sih buat saya. Toh dia juga sering bilang "kembali ke cerita..." hehehehe berarti dia juga nyadar ceritanya ke mana-mana :D
Yang agak mengganggu bagi saya adalah ketika Naneng mulai membanding-bandingkan pola pikir orang indonesia dengan orang bule. Dia berulang-ulang mengatakan hindari prejudice pada orang lain, karena dia merasa dirinya selalu dipandang aneh oleh orang-orang indonesia yang ditemuinya di perjalanan. Perempuan, jalan-jalan sendirian, lebih memilih bertualang daripada menikah, dsb. Dia merasa dirinya lebih welcome di tengah para bule yang memahami pola pikirnya. Menurut saya sih itu juga termasuk prejudice dong, karena orang-orang yang nggak sepaham dengan dia dianggap picik? Bukankah wajar kalau sesuatu yang baru selalu memancing rasa penasaran sehingga orang-orang itu selalu mengajukan pertanyaan yang sama? Mengenai nasihat perkawinan yang selalu dijejalkan ke telinganya oleh orang-orang yang ditemui, saya rasa bukan cuma orang indonesia yang begitu. Teman saya pernah lho, dapat nasihat perkawinan dari bule yang dia temui di perjalanan...padahal nggak kenal sama sekali.
Saya juga agak bosan dengan 'keluhannya' bahwa kulit hitam dan tubuh tinggi kurus (ceking) tidak pernah dilirik atau dalam istilah Naneng tidak pernah dapat pasar di kalangan cowok indonesia, sementara di mata bule dia selalu dianggap cantik dan memesona (mulai capek kalau dia udah mulai cerita ttg bule2 yg tergila2 padanya. Di semua lokasi selalu ada bule yang jatuh cinta sama dia. Dan kenapa semua bule itu digambarkan guanteng setengah mati ya?)
Kembali ke soal hitam dan ceking itu...saya kok nggak setuju ya? Banyak teman saya yang berkulit hitam, kurus, nggak semlohai, tapi pacarnya segudang. Kayaknya cowok indonesia juga nggak picik-picit amat deh, IMHO.
Secara keseluruhan, ini novel yang keren, ceritanya unik, petualangannya menarik, bikin saya pingin ikut menjelajahi tempat-tempat indah di Indonesia yang dia ceritakan (coba ada fotonya, pasti tambah cihui). Kalau nggak keberatan baca curahan hati dan sedikit kenarsisan penulis dengan kisah-kisah asmaranya, novel ini layak banget dibaca.
Oiya, ada lagi sih satu hal yang kurang sreg. Gaya penulisannya (apakah editor cenderung longgar dalam mengedit tulisan Naneng?). Memang sih ini novel berbentuk jurnal, tapi alangkah lebih enaknya dibaca jika menggunakan bahasa yang 'mudah'. Beberapa contoh nih: - di'haress' : lebih enak dilecehkan - di'crave' oleh laki-laki : lebih enak didambakan - men-judge : lebih enak menghakimi - membuatku joy being a woman : membuatku bahagia menjadi perempuan - mem-pack barang : lebih enak mengepak barang. Kan lumayan tuh, nggak perlu sering-sering kasih tanda kutip atau memiringkan tulisan. Kalau penulis kesulitan menemukan bahasa Indonesia yang tepat untuk istilah bahasa Inggrisnya, kan editor bisa membantu. Ini sih pendapat awam saya saja.
Sama itu lho...kenapa susah banget pake akhiran -nya dan -ku. Kayak gini nih: "Tangan kekar dia mendekap aku," "mata aku," "khayalan aku." Dan itu teruuus sampai akhir novel. Bukannya lebih enak "Tangan kekarnya mendekapku," "mataku," "khayalanku." Lagi-lagi, ini pendapat awam saya. Syukur-syukur benar :)
Anyway...salut buat Naneng (yang sekarang mengurus yayasannya sendiri, Reef Check Indonesia. Top banget!). Nggak banyak perempuan pemberani seperti dia, yang tidak takut mendobrak norma dan aturan yang berlaku, yang kadang-kadang memang nggak masuk akal absurdnya. Saya rasa kalau buku kedua dan ketiga nanti terbit, saya juga akan membelinya.
Mbak Tya ini benar-benar perempuan yang tangguh. Menjadikan rasa takutnya sebagai alat untuk tetap aman berpergian sendirian. Seorang wanita yang bosan dibanding-bandingkan dengan kakaknya dan dipandang sebelah mata, "membalas dendam" dengan menjadi primadona dalam perjalanannya menuju Pulau Timor dan Sumatera.
Seorang backpacker wanita yang pergi ke banyak tempat seorang diri menuliskan kisah perjalanannya dalam buku yang sederhana namun kaya pengalaman. Seseorang yang justru lebih nyaman berada di dunia yang tidak biasa bagi seorang perempuan Timur kebanyakan, lebih nyaman berada di antara orang asing yang sejalan dan sepaham dengan Mbak Tya. Memang, terkadang orang asing justru lebih mengerti daripada orang yang terdekat dan mengenal kita lebih lama, dan bergaul dengan orang-orang yang jauh dari hedonisme memang lebih menyenangkan.
Mbak Tya ini termasuk Pecinta Alam yang benar-benar mencintai alam, yang tak sekedar menikmati alam. Saya mengagumi cara berpikirnya yang kritis dan rasional.
Banyak yang saya pelajari di buku ini. Bagaimana menyesuaikan diri dengan lingkungan yang kebiasaannya jauh berbeda dengan kita saat berada di "kandang". Bagaimana melihat sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda. Bagaimana kita harus membuat tindak nyata sejak dini untuk membuat bumi ini menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali, dan tentunya bagaimana menjadi seorang backpacker perempuan yang baik dan benar. :))
Duh, jadi tidak sabar mewujudkan cita-cita saya untuk backpacking keliling Indonesia, atau minimal Sumatera dulu, deh...
Ohiya, Mbak Tya, kirim salam sama Dereck, ya. :3 *digebukin sekampung*
saya melihat buku ini di bazaar buku depan perpustakaan daerah di kota saya. niat awalnya sih mau beli gara2 suka covernya, haha tapi nggak jadi, nggak tau kenapa pas itu kepikiran buat liat2 koleksi perpusnya dulu. daaan eng ing eng...ternyata di perpusda ada buku ini :D. saya langsung merasa bersyukur belum jadi beli, haha.
seperti yang saya bilang tadi, saya suka covernya, hehe. jadi rasanya begitu liat langsung pengen baca, apalagi saya belakangan ini lagi kecanduan buku traveling. tapi ternyata isinya nggak sebagus covernya, menurut saya loh ini...karena saya sedang mencari buku tentang wisata dan jalan2, dan buku ini malah lebih didominasi pemikiran2 penulisnya. saya salut dengan si penulis yang berani mendobrak peradaban, sekalipun saya mungkin tak memiliki pikiran ataupun sikap sama dengan penulis.
Sebenernya buku ini bisa banget dapet tiga atau empat bintang, cuma karena pemilihan kata dan tanda baca yang berantakan, buku ini jadi salah satu buku yang sebenernya menarik untuk dibaca tapi bikin males baca. Aku sempet berhenti beberapa kali cuma gara-gara bete liat tanda bacanya yang aneh-aneh. Serius cuma satuuu kali lagi aja dibaca ulang, harusnya udah bisa lho ngasih kesempatan buat editornya untuk ngerapiin.
yang suka bekpekeran, yang pengen bekpekeran, wajib baca ini. keren! selain disuguhi cerita tentang pemandangan alam Indonesia, kita juga disadarkan dengan berbagai pesan moral juga pengetahuan yang banyaaak sekali diselipkan di setiap cerita. Semoga suatu saat bisa menulis cerita perjalanan saya sendiri