Jump to ratings and reviews
Rate this book

Entrok

Rate this book
Marni, perempuan Jawa buta huruf yang masih memuja leluhur. Melalui sesajen dia menemukan dewa-dewanya, memanjatkan harapannya. Tak pernah dia mengenal Tuhan yang datang dari negeri nun jauh di sana. Dengan caranya sendiri dia mempertahankan hidup. Menukar keringat dengan sepeser demi sepeser uang. Adakah yang salah selama dia tidak mencuri, menipu, atau membunuh?

Rahayu, anak Marni. Generasi baru yang dibentuk oleh sekolah dan berbagai kemudahan hidup. Pemeluk agama Tuhan yang taat. Penjunjung akal sehat. Berdiri tegak melawan leluhur, sekalipun ibu kandungnya sendiri.

Adakah yang salah jika mereka berbeda?

Marni dan Rahayu, dua orang yang terikat darah namun menjadi orang asing bagi satu sama lain selama bertahun-tahun. Bagi Marni, Rahayu adalah manusia tak punya jiwa. Bagi Rahayu, Marni adalah pendosa. Keduanya hidup dalam pemikiran masing-masing tanpa pernah ada titik temu.

Lalu bunyi sepatu-sepatu tinggi itu, yang senantiasa mengganggu dan merusak jiwa. Mereka menjadi penguasa masa, yang memainkan kuasa sesuai keinginan. Mengubah warna langit dan sawah menjadi merah, mengubah darah menjadi kuning. Senapan teracung di mana-mana.

Marni dan Rahayu, dua generasi yang tak pernah bisa mengerti, akhirnya menyadari ada satu titik singgung dalam hidup mereka. Keduanya sama-sama menjadi korban orang-orang yang punya kuasa, sama-sama melawan senjata.

282 pages, Paperback

First published April 5, 2010

307 people are currently reading
3705 people want to read

About the author

Okky Madasari

23 books440 followers
Okky Madasari is an Indonesian novelist. She is well-known for her social criticism with her fiction highlighting social issues, such as injustice and discrimination, and above all, about humanity. In academic field, her main interest is on literature, censorship and freedom of expression, and sociology of knowledge.

Since 2010 Okky has published 10 books, comprising of five novels, one short-story collection, three children’s novels and one non-fiction book. Her newest book (2019) is Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam dan Sastra Perlawanan or “Genealogy of Indonesian Literature: Capitalism, Islam and Critical Literature”, which is published online and can be freely downloaded from her website www.okkymadasari.net. Okky’s novels have been translated into English, Germany and Arabic.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
1,779 (41%)
4 stars
1,869 (43%)
3 stars
527 (12%)
2 stars
94 (2%)
1 star
28 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 928 reviews
Profile Image for Dinyah.
17 reviews17 followers
July 31, 2010
Jangan tertipu dengan warna sampul buku ini yang cenderung lembut dan manis. Warna merah muda yang dominan, krem serta hijau, yang mungkin biasanya mudah kita lihat sebagai ciri-ciri karya chick-lit, bisa jadi dipilih oleh penerbit dan penulis demi menyamarkan apa yang sebetulnya dikandung buku ini. Apalagi kalau Anda cuma membeli buku ini karena tergiur gambar seorang perempuan yang sedang berusaha mengaitkan beha hijau kembang-kembangnya lantas membayangkan kisah-kisah seksual serbatanggung baik dalam segi deskripsi maupun narasi.


Jika ENTROK terbit sebelum 1998, ia pasti akan dituduh sebagai karya subversif. Namun, karena terbit pada April 2010 maka ENTROK cukuplah kiranya jika dimasukkan ke dalam kategori semi-subversif. Bukan oleh saya, tentu saja. Saya cuma mengelompokkan buku berdasarkan minat atau sistem klasifikasi Dewey (ketika masih jadi pustakawan jejadian). Ciri-ciri provokasi subversif (atau semi-subversif) yang dipenuhi oleh ENTROK antara lain adalah mengangkat relasi pemerintah dan rakyatnya ke salah satu ranah paling mulia sepanjang sejarah manusia: sastra.


Jaman apa yang dipakai sebagai latar dalam ENTROK? Kalau mau dilihat dari perspektif matematis, ENTROK membeberkan kisah yang terjadi selama kurang lebih lima puluh tahun, mulai 1950 sampai 1999. Sementara kalau mau dilihat dari perspektif sejarah politik Indonesia, ENTROK adalah novel tentang jaman partai beringin dan kejayaan warna kuning; jaman ketika tentara meminta sumbangan, kematian-kematian tak terjelaskan; jaman ketika kata ‘keamanan’ justru menjadi anekdot yang mencekam rakyat.


Dua tokoh utama dalam ENTROK adalah Marni dan Rahayu. Marni lahir dalam kemiskinan. Nasibnya adalah nasib jutaan anak perempuan di muka bumi ini: ayah brengsek, sehingga ibu banting tulang sendirian. Bersama Simbok, ibunya, Marni, mengerahkan segala daya untuk bertahan hidup, menjadi buruh pengupas singkong yang dibayar dengan singkong pula. Dibayar pakai singkong mungkin tidak akan pernah menjadi masalah bagi Simbok dan Marni kalau saja Marni tidak pernah melihat si Tinah, anak Pakliknya memakai entrok alias beha alias kutang. Marni yang memang merasa risih dengan dadanya yang mulai tumbuh merekah sebagaimana normalnya seorang gadis remaja, ingin juga punya entrok, segitiga yang bisa menutup gumpalan dada.


Sebuah entrok mustahil bisa didapatkan Marni dengan menyerahkan singkong yang ia terima sebagai upah. Marni pun memutar otak agar bisa diupah orang dengan uang, seperti laki-laki lain di Pasar Singget, tempatnya dan Simbok biasa mangkal mengupas singkong. Marni pun alih profesi menjadi kuli angkut. Walaupun sempat mendapat perlawanan dari Simbok karena angkat barang adalah pekerjaan yang ora ilok untuk seorang perempuan, Marni maju terus. Kerja keras dan kemauan Marni membuahkan hasil. Dari uang yang berhasil dia kumpulkan, selain bisa membeli entrok, dia pun dapat mengumpulkan modal untuk mulai menjual barang secara eceran, berkeliling dari satu rumah ke rumah lain di desanya.


Rupanya Marni memiliki intuisi dagang yang tajam. Sukses dengan jualan sayur dari pintu ke pintu, ia pun menambah jenis barang dagangannya seperti panci dan ember. Pembeli pun bisa membayar secara kredit, bisa per hari atau per minggu. Sukses dengan panci, bisnis uang dirambahnya. Marni seolah menjadi Bank Singget, pedagang, guru bahkan priyayi mendatanginya memohon dipinjami uang dengan perjanjian pengembalian ditambah bunga.


Singkat cerita, Marni menjadi orang kaya. Dalam perjalanannya menjadi kaya itu ia menikah dengan Teja dan akhirnya punya seorang putri, Rahayu. Sebagai anak orang kaya, Rahayu mengecap pendidikan formal yang disediakan negara. Dari sinilah perpecahan antara Rahayu dan Marni dimulai. Di sekolah itulah Rahayu mendengar dan mendapat pengajaran bahwa ibunya adalah pendosa. Ibunya tidak memuja Tuhan seperti yang diajarkan oleh guru agama Rahayu, melainkan membuat tumpeng, selamatan, menziarahi kuburan dan berdoa di bawah pohon asem. Semakin lama Rahayu semakin membenci ibunya, ia percaya bahwa ibunya rentenir, menarik uang dari kesusahan warga desa dan pada akhir masa nanti ibunya akan digodok di api neraka.


ENTROK menyajikan konflik Marni dan Rahayu dari sudut pandang kedua tokoh tersebut. Mereka secara bergantian menjadi narator. Namun, ENTROK bukanlah sebuah novel keluarga tentang perang dingin antara ibu dan putrinya. Dijalin dengan sangat erat namun halus di dalamnya adalah perkembangan politik dan sosial Indonesia pada masa itu. Sejak kekayaannya membengkak, Marni mulai menjadi bulan-bulanan penguasa, tak ada satu pun hari dalam kehidupannya yang lepas dari premanisme aparat pemerintah. Tagihan-tagihan konyol senantiasa berdatangan, mengincar ketenangan Marni, si pekerja keras yang buta huruf. Sialnya, Teja, suaminya yang seorang kuli dan memang bermental kuli, selalu memperburuk keadaan dengan kepatuhannya pada aparat, mengiakan, berapa atau apa pun yang diminta. Sementara Rahayu yang akhirnya kuliah ke Yogyakarta berhadapan dengan aparat dalam konteks yang lebih politis. Awalnya, sebagai aktivis Islam di kampus, namun kemudian turun langsung ke tempat yang dipaksa jadi waduk raksasa.


Dalam kisah Marni pembaca dapat melihat bagaimana pada masa itu uang menjadi satu-satunya bahasa yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak: penguasa dan yang dikuasai. Dan jika uang adalah bahasa, maka ancaman, penggertakan, sabotase dan kematian adalah tata bahasa yang harus dipatuhi dan dapat dimodifikasi secara bebas oleh sang penguasa kepada yang dikuasai.


Sedikit berbeda dengan Marni yang tertindas karena uang yang ia dapat dari kerja kerasnya sendiri, Rahayu dianggap berbahaya dan karenanya juga perlu dibungkam justru karena idealismenya sebagai seorang muslim yang makan bangku sekolahan (bahkan bangku universitas). Sama dan sebangun dengan mereka yang menindas Marni, negara, melalui tangan-tangan keji aparatnya, bukan saja mencegah Rahayu menyuarakan kebenaran, tapi bahkan membunuh suaminya, memenjarakannya dan melabelinya PKI, tindakan penistaan pamungkas ala orde baru yang berujung pada kehancuran ibu dan anak itu.


ENTROK adalah karya pertama Okky Madasari, seorang Sarjana Ilmu Politik lulusan UGM yang memilih berkarier sebagai wartawan dan penulis. Dilihat dari latar belakan Okky yang asli Jawa, tidak heran bahasa dalam ENTROK pun sangat Jawa. Kata-kata Jawa, baik yang masih memerlukan catatan kaki maupun yang sebetulnya sudah terserap ke dalam Bahasa Indonesia, tersebar di seluruh buku. Saya tidak melihat ini sebagai sesuatu yang mengganggu, justru sebaliknya menambah kekhasan ENTROK sebagai sebuah novel karya penulis Indonesia. Gaya bahasa yang dipakai Okky kebanyakan adalah gaya bahasa lisan yang bisa dengan gampang kita dengar di jalan, pasar atau mungkin di televisi. Dengan sendirinya ENTROK menjadi cerita yang mengalir dan tidak rumit.


Kisah MARNI dan Rahayu dalam ENTROK berakhir di tahun 1999, ketika Rahayu diceritakan akan mendapat KTP ‘normal’ sebagai pengganti KTP berinisial ET yang dimilikinya sejak dibui membela warga korban pembangunan waduk. Kalau dihitung-hitung, sudah sepuluh tahun lebih tahun itu berlalu. Tetapi ironisnya, hal-hal yang membuat geram sepanjang saya membaca ENTROK masih dengan mudah saya lihat hari ini. Relasi negara dan rakyatnya timpang, keadilan jadi basa-basi, rakyat takut pada orang-orang berseragam, kemiskinan baik dalam perspektif ekonomi maupun sosial budaya ada di mana-mana dan apa yang diangkat koran cuma dijadikan oleh penguasa sebagai rujukan untuk membungkam mereka yang sebetulnya bisa bicara tentang kebenaran. Jadi, sebetulnya yang mana yang bentrok, orang-orang seperti Rahayu dan Marni atau negara dan rakyatnya sendiri?
Profile Image for Farda Hus.
115 reviews95 followers
February 14, 2025
3 bintang

Kisah tentang kehidupan keluarga Marni dan anaknya Rahayu.
Aku suka banget Marni, definisi woman empowerment sesungguhnya. Sedangkan Rahayu aku kurang begitu suka, dia gambaran orang Indonesia yang ‘beberapa’ masih ada sampai saat ini, dia sebagai pemeluk agama mayoritas di Indonesia, merasa paling benar dan merasa najis dengan orang yang berbeda pandangan bahkan ibunya sendiri, lupa akan pengorbanan ibunya. Ya tapi itulah memang tujuannya, sebagai potret wajah nyata di Indonesia.

Buku ini benar-benar berhasil memberikan gambaran banyak wajah masyarakat di Indonesia. Selain itu juga berhasil menggambarkan borok-borok pemerintahan di masa Orde Baru. Bagaimana opresifnya pemerintahan. Tapi aku ngerasa ini terlalu textbook, nggak ada kejutan atau sesuatu yang bikin ‘hah?!’. Jalan ceritanya terlalu bisa ditebak, seperti hanya mengikuti pakem yang sudah ada. Kalau kamu sudah familiar dengan sejarah periode ini, rasanya lebih seperti sekadar menceritakan ulang, bukan memberikan sudut pandang baru. Nggak ada twist, Nggak ada sesuatu yang benar-benar menggali lebih dalam atau memberi perspektif baru, terlalu familiar. Ya tapi lumayan suka endingnya sih.

============================================================================

This was the story of two women, Marni and her daughter, Rahayu. Marni is literally the biggest goddess of feminist energy, and I live for that! Meanwhile, Rahayu? Yeah, not a fan. Blinded by her sense of righteousness, she dismissed and disrespected anyone who didn’t share her beliefs, even her mother wasn’t spared.

Every event in this book paints a brutal picture of Indonesia during the New Order era, how the government was a dictatorship, how the military was oppressive, and how dark those times really were. The way it portrays society’s perception of women felt painfully real. What’s even sadder is that I still see it happening everywhere.

I don’t hate this book, but everything felt too by the book, no surprises, nothing that really caught me off guard. It followed a predictable path, ticking all the expected boxes. If you’re familiar with this period of history, the events feel more like a retelling than a fresh take. No unexpected twists, no deeper layers to uncover—just familiar, you know what I mean? I liked the ending tho.
Profile Image for Vinca.
219 reviews5 followers
April 11, 2013
Ini Entrok..

Entrok adalah beha..


***

Beberapa orang temanku menyebutkan dalam reviewnya kalau tema buku ini adalah Uang! Tapi aku tidak setuju dengan mereka. Sama seperti buku Ronggeng Dukuh Paruk yang seringkali dinilai hanya berdasarkan kisah romansa antara Rasus dan Srintil, aku juga tidak rela kalau buku ini dinilai sedangkal itu. Buku ini bercerita tentang feminisme, sosial politik, dan yang paling penting.. Buku ini bercerita dengan gamblang bagaimana teror negara terhadap rakyat kecil di masa-masa orde baru. Kalian menurut atau kami cap sebagai PKI!

Adalah Sumarni, seorang remaja baru gede yang sangat menginginkan Entrok untuk menyangga payudaranya yang mulai tumbuh. Pada masa itu, entrok bisa dikatakan pakaiannya orang-orang kaya. Orang-orang seperti Sumarni dan ibunya tidak akan sanggup membelinya. Ibunya terbiasa menggunakan kemben untuk menggantikan fungsi entrok, namun Sumarni tidak mau. Sumarni ingin entrok, entrok seperti yang dipakai oleh Tinah sepupunya.

Dengan diawali keinginannya menggunakan Entrok, berangkatlah Sumarni menjadi seorang wanita yang berkemauan kuat dan pekerja keras. Dia memulai "karier" nya menjadi kuli di Pasar. Dikumpulkanlah sekeping demi sekeping receh demi membeli entrok idaman. Tak dinyana, tabungannya cepat terkumpul. Uangnya bahkan berlebih kalau hanya untuk membeli sebuah entrok saja. Dia memutuskan untuk menggunakannya sebagai modal berjualan keliling desa, hingga tak lama usahanya pun berkembang dan perlahan-lahan Ia menjadi orang kaya. Dari berjualan sayur-sayuran berkeliling kampung, usahanya merambah pada pengkreditan panci, wajan dan kawan-kawannya hingga kemudian Ia juga membungakan uang yang dipinjamkan pada tetangganya. Sumarni kaya raya.. tanahnya berhektar-hektar.. Bahkan pejabat negara yang katanya seorang priyayi pun tak sekaya Sumarni. Ia punya televisi, cuma Pak Lurah di desa tersebut yang memiliki televisi selain Sumarni.

Suami Sumarni adalah Teja. Teja adalah pemuda yang menemaninya menjadi kuli untuk pertama kalinya di pasar. Dari pernikahannya dengan Teja, lahirlah seorang putri yang bernama Rahayu. Sumarni yang buta huruf, Sumarni yang lahir dan besar dengan kondisi yang kekurangan bertekad untuk memberikan yang terbaik kepada Rahayu putrinya.

Rahayu hidup berkecukupan dan berpendidikan. Sumarni menyekolahkannya hingga tingkat universitas. Namun dari sinilah konflik ibu dan anak dimulai..

Seiring dengan ilmu yang bertambah, ditambah hasil "doktrin" dari guru-guru yang mengajarnya, Rahayu mulai bersikap untuk menilai ibunya. Menurut gurunya, sikap Sumarni yang masih menganut aliran animisme adalah sirik dan tidak diperbolehkan oleh agama. Begitulah kata gurunya dan begitu pula Rahayu memandang Sumarni.

Rahayu menganggap tingkah Sumarni yang masih memberikan sesajen kepada arwah leluhur dan tirakat tengah malam di bawah pohon sambil berdoa kepada Ibu Bumi adalah sebuah dosa besar. Bahkan tak jarang Ia membuang sesajen berupa tumpeng dan ayam panggang yang diletakkan oleh Sumarni. Ia marah besar kepada ibunya. Diapun menyuruh ibunya untuk hanya meminta kepada Allah swt.

Dan bagaimana dengan Sumarni? Dalam posisi nya ini, aku bisa mengerti bagaimana perasaan Sumarni. Tentunya Ia menjadi sedih dan sakit hati sekali melihat tingkah laku putrinya. Tapi ibu adalah tetap menjadi ibu, cintanya akan memaafkan semua tingkah laku putrinya yang tidak berkenan di hatinya.

Bagaimana mungkin aku meminta kepada Allah swt sedangkan aku tidak pernah mengenalnya...

Jawaban yang sangat sederhana inilah yang diberikan Sumarni pada Rahayu. Jawaban yang memberikan perenungan yang dalam kepadaku yang membacanya.

Okky Madasari membuat buku ini dalam dua sudut pandang, yaitu Sumarni dan Rahayu.. dua tokoh perempuan sentral yang berperan besar dalam cerita ini. Di dalamnya, kita akan melihat dengan jelas bagaimana kondisi sosial Indonesia saat itu. Bagaimana pemaksaan kehendak saat pemilu berlangsung, bagaimana tentara-tentara yang bertugas menjaga keamanan pasca revolusi pun berubah menjadi preman yang tak segan menggunakan kekuasaannya untuk memalak masyarakat kecil dengan dalih uang kemananan. Tidak menurut? maka kamu adalah PKI. Masalah petrus alias penembak misterius pun disinggung di buku ini. Bagaimana kematian misterius tiba-tiba orang yang katanya preman itu ternyata tidak menimbulkan ketenangan pada masyarakat, namun malah menimbulkan... TEROR.

Bahkan Okky juga menceritakan bagaimana pemaksaan program KB dilakukan saat itu. Pemaksaan karena, masyarakat yang tidak tahu menahu itu disuruh untuk mendapatkan suntikan KB tiap bulannya tanpa tahu apa akibatnya. Dan lagi-lagi kalau tidak menuruti akan dicap PKI.

Terlihat sekali pada masa itu, bagaimana Orde Baru membuat image PKI menjadi sangat menyeramkan. Menjadi PKI artinya kalian akan dipenjara dan ditandai seumur hidup lewat KTP kalian. KTP kalian akan berhiaskan hurf ET alias Eks Tahanan. Dan itu artinya, tidak ada lagi yang mau memperkerjakan kalian atau berhubungan dengan kalian lagi. Kehidupan sosial para ET ini kiamat dengan sendirinya.

Selain itu, Okky juga sedikit menyinggung mengenai Tragedi Kedung Ombo. Tragedi yang memakan korban para penduduk sekitar. Pusat memerintahkan ganti rugi tanah untuk pembangunan waduk Kedung Ombo adalah Rp 3000/m2 namun kenyataannya yang ditawarkan kepada masyarakat hanya Rp. 300/m2. Sisanya? masuk ke kantong para kepala daerah. Dan lagi-lagi, TNI menggunakan kuasanya dan menjadi algojo untuk menyuruh para penduduk sekitar lokasi agar menerima ganti rugi yang ditawarkan.

Buku seperti inilah yang seharusnya banyak beredar di masyarakat. Buku yang dengan "santai" nya mencoba menceritakan sejarah Indonesia sesungguhnya. Buku-buku seperti ini akan memberikan kepada kita pandngan lain mengenai ketentraman yang kita rasakan di masa Orde Baru.

Buku ini menurutku, setara dengan Ronggeng Dukuh Paruk nya Ahmad Tohari dan di atas Pulang nya leila S. Chudori. Buku yang sangat memuaskan dalam hal pikiran dan nurani. Lima bintang untuk buku ini.
Profile Image for Novita.
184 reviews13 followers
December 3, 2022
4,3⭐

Sebenernya saya sudah sangat siap waktu memilih untuk membaca novel ini. Tapi setelah setengah bagian rasanya beneran buat kesel, setres karena melihat segala tokoh di cerita ini.

Entrok, sangat asing bagi saya yang lahir di abad ke-21, yang walau terlahir dari keluarga jawa tapi sudah jarang menyebutnya sebagai "entrok". Saya tidak akan pernah mengira entrok adalah bra/bh.

Entrok yang sangat ingin digunakan oleh Marni, entrok yang menjadi mimpi pertama Marni saat masih remaja. Entrok yang sangat mahal di jaman itu. Mengantarkannya kepada pilihan hidupnya sebagai bakul sayuran dan berakhir menjadi bakul duit.

Cerita di novel ini sarat akan penggambaran asli wajah-wajah Indonesia, dimana pungli, korupsi, intoleransi, selalu berburuk sangka akan pencapaian orang lain, juga penggambaran orang-orang yang hanya memikirkan sex dengan dalih agama dan agama, serta isu tentang kesetaraan gender, yang bahkan hingga saat ini masih tetap ada dan mungkin sudah sangat-sangat mengakar.
Profile Image for an.
764 reviews22 followers
June 18, 2010
duduk di pojokan, matikan akses internet dan... siap merenung bersama entrok

mungkin itulah gambaran yang tepat untuk memulai kisah perjalanan ini. bukan novel yang berkisah dalam hitungan bulan, minggu apa lagi hari, namun tahun. bertahun-tahun antara 2 generasi, yang mengenal huruf dan yang belum, yang mengenal tuhan dan yang belum, yang hidup adalah kerja keras dan yang hidup adalah ilmu. perbedaan generasi dalam satu periode waktu ternyata membawa permasalahan pelik namun tetap mempertahankan ikatan yang ada karena hubungan darah. ya.. hubungan antara ibu dan anak.

si ibu yang masa muda na dilalui dengan kerja keras, berawal dari keinginan na memiliki entrok sampai perlahan membawa na kepada suatu posisi terpandang di masyarakat (yang saat itu masih menilai segala sesuatu berdasarkan harta). dari mulai mendapat upah gamplek, sampai mendapat upah duit hingga menjual duit itu sendiri. segala yang dimiliki na tak lain karena usaha dan kerja keras. mimpi... untuk memperoleh hidup yang lebih baik, keinginan supaya generasi setelah dia (anak na) dapat hidup makmur, bukan hidup susah seperti na. usaha yang dilakukan na, hasil yang diperoleh na, tak lain dan tak bukan adalah untuk sang anak.

namun apa yang terjadi dengan sang anak? rahayu yang terkena imbas modern, ajaran sekolah tentang konsep tuhan. gusti yang disembah menurut cara na, gusti yang baik, yang mengenal dosa dan yang tidak mengenal ajaran nenek moyang. gusti seperti itulah yang diperkenalan kepada rahayu melalui ajaran sekolah na. membuat na menentang ibu sendiri, mengatakan na musrik dan sebagai na. demi gusti, anak melawan ibu na, mempercayai omongan masyarakat tentang hal-hal gaib yang dilakukan ibu na untuk memperoleh semua itu. padahal dialah yang paling tau, sekeras apakah ibu na berusaha sampai bisa memperoleh itu semua.....

hasil yang diperoleh dengan tidak gampang itu harus diserahkan begitu saja kepada orang berseragam, mereka menyebut na tentara. apa itu tentara? konsep baru yang diperkenalkan setelah ada na negara. manusia-manusia berbekal sepatu laras, pentungan dan pistol. berkedok menjaga keamanan padahal sebenar na justru menebar keresahan.

mengapa buku ini hanya berbintang 3?

dengan riset yang pasti telah dilakukan sebelum na untuk menuliskan kisah ini, dengan gaya penulisan yang bisa dikatakan berbeda, meletakan ending di posisi yang tidak biasa na, dengan pendalaman karakter yang seakan-akan membawa pembaca begitu dekat terhadap tokoh-tokoh tersebut, dan dengan segala punjian yang lain na....

hanya berbintang tiga karena... tentara. kisah perbedaan 2 generasi ini sama-sama dihubungkan dengan tentara, petugas berseragam, apalagi kalau bukan ketidakadilan mereka. sungguh disajikan kisah ketidakadilan (yang hampir) melulu sehingga jengah membaca na, capek dan lelah. seperti itukah jaman 65 dan beberapa tahun sesudah na? diancam tentara, dirampok tentara, ditakut-takuti tentara. harus hormat kepada tentara, harus menuruti kemauan tentara (yang kata na atas nama negara), harus ‘setor’ ke tentara, kata na demi keamanan mereka.

Prek... mungkin itulah yang akan dikatakan marni maupun rahayu saat ini. namun kala itu, mampukah? melawan tentara sama dengan melawan negara sama dengan anggota PKI. banyak orang tak tahu apa itu PKI menjadi korban tuduhan tak beralasan. tahu saja tidak, bagaimana mungkin menjadi anggota na. ya... tentara hanya mencari-cari alasan untuk menjebloskan mereka yang tak mau menurut dengan tuduhan anggota PKI. berapa banyak mulut dibekap? berapa banyak orang menjadi korban? nyawa, harta, harga diri dan kebebasan. semua amblas di hadapan tentara, orang yang kata na aparatur negara, sosok yang kata na melindingi bangsa.

lelah dengan kekejaman tentara, lelah dengan ketidakadilan yang selalu terjadi pada masa itu, lelah membaca semua na itu yang dipaparkan pada lembar yang tak lebih dari 282 halaman. lelah untuk mengulas semua na dan mengenang masa lalu, lelah dengan budaya suap menyuap yang mengakar pada jaman itu dan tak juga hilang hingga ntah berapa generasi lagi berlalu kini. lelah....

dan kembalilah kita kini, di halaman awal, untuk mengakhiri kisah ini dan beristirahat dari semua kelelahan itu.



nb: t'iring trima kasih untuk ibu yang dengan perjuangan na membawa rhe untuk menjadi seperti sekarang ini. love u mom... sungguh kerja keras yang ga bisa rhe balas dengan apapun juga. hanya dengan inilah.... aku. thx
Profile Image for hap.
57 reviews2 followers
September 8, 2024
i cried. so hard. i always have a weak spot for story about motherhood. i too have a regret about the way i treat my mom, and the relationship of marni and rahayu in this novel hits too hard. too deep. after reading the last chapter, i reread the first chapter again and my tears just won't stop after that. these two women just want to live peacefully but their different perspective hinder them to do that. at the end of the day, they only need each other, but their stubbornness and their pride hinder them to reach that goal earlier. they never met. when it was the mother who always put efforts, the daughter didn't understand any of those. and when it was the daughter's turn to put efforts, the mother no longer could understand those.

they love each other, they only need each other, the mother only need her daughter and the daughter only need her mother. but they never met. they missed each other.

and knowing that make me ugly crying
Profile Image for Wirotomo Nofamilyname.
380 reviews51 followers
December 29, 2015
#111 in 2015.

Ini buku yang perlu dibaca orang-orang yang senang bilang "Enakan jaman Soeharto". :-)
Buku ini berhasil menggambarkan kesusahan rakyat kecil saat pak Harto berkuasa, dengan mau menang sendirinya para tentara dan pejabat daerah, dan menyusahkan masyarakat. Bahkan di akhir cerita ditampilkan kisah penggusuran waduk Kedung Ombo. Dimana banyak warga yang tidak mau pindah dan menerima ganti rugi yang hanya Rp 300 per m2 (sumber lain menyatakan Rp 250 per m2). Padahal Mendagri, Soepardjo Rustam menyatakan ganti rugi "aslinya" afalah sebesar Rp 3000 per m2. Warga diusir dengan kekerasan. Pak Harto menyatakan langsung bahwa di Boyolali banyak pendukung komunis sewaktu tahun 1965 (dengan kata lain menyamakan warga tersebut sebagai PKI). Dan banyak dari mereka ditahan, dan KTP mereka diberi tambahan tanda ET (Eks Tapol) sebagaimana para anggota PKI.

Saya suka ceritanya, tentang perjuangan hidup seorang wanita dari hidup yang begitu susah sampai hidup berkecukupan. Dan saya suka selipan cerita mengenai keadaan saat berkuasanya Orde Baru tersebut. Namun saya nggak suka, demi untuk "membela" sang tokoh utama (yang digambarkan sebagai penganut kepercayaan, dan lintah darat, namun giat bekerja) sepertinya penulis menjadikan semua tokoh agama yang tampil sebagai orang munafik semua, bahkan sampai Kiai Hasbi pun ditampilkan masih iseng cari istri ke-4.

Terus, penulis tidak disiplin dengan 2 penutur cerita, yaitu sang tokoh utama: Marni, dan Rahayu, anaknya. Kadang Rahayu bisa menceritakan kejadian yang dialami Ibunya (dimana dia tidak hadir) secara detil dan bahkan ada kutipan langsung, padahal digambarkan hubungan Rahayu dan Ibunya begitu buruknya sehingga mereka jarang mengobrol.
Di lain cerita sang tokoh menyatakan setelah Pemilu 1971, bahwa lima tahun kemudian terulang hal yang sama (maksudnya Pemilu nya) padahal pemilu berikutnya terjadi 6 tahun kemudian.

Itu saja sih yg agak jadi ganjelan, tapi menurut saya novel ini bagus sekali menggambarkan hal-hal mengenai rakyat kecil, masalah mereka dan keinginan mereka, dan perbenturan mereka dengan kekuasaan. Bahkan masih ada cerita tambahan mengenai alasan bangkrutnya kebanyakan pabrik gula milik Pemerintah di Jawa. :-)

Jadi saya beri bintang 4.

Dan alhamdulillah ini jadi buku ke-111 yang selesai saya baca di tahun 2015, dan dengan demikian membuat saya berhasil mencapai target baca tahun ini. Hmmm walaupun agak main curang sedikit sih, karena saat terakhir saya banyak membaca komik karena saya benar-benar keteter untuk mencapai target ini.
Tahun depan saya akan pasang target baca hanya 14 buku saja deh. Yaitu 2 angka terakhir tahun kelahiran anak ke-2 saya. Namun untuk sedikit "mempersulit"nya, ke-14 buku itu harus BUKAN komik dan kumpulan puisi, dan jumlah halamannya di atas 352 halaman (buku tertebal yang saya baca tahun 2015: The Last Pope). :-)

Gituuu....
Profile Image for Rido Arbain.
Author 6 books98 followers
July 29, 2025
Berlatar kondisi Indonesia pada tahun 1950-an sampai awal 1990-an, novel ini seakan-akan merangkum masa transisi sosial-politik dan rekam jejak beberapa sejarah penting di Indonesia: dari pascakemerdekaan, masa orde baru yang represif, hingga era reformasi yang masih belum sepenuhnya membebaskan rakyat dari ketertindasan. Meski hanya mengambil latar daerah sekitar Jawa Tengah dan Yogyakarta, tapi situasi yang terjadi sepanjang novel ini tetap representatif untuk menggambarkan keadaan bangsa pada masa itu.

Kehidupan desa, korupsi aparat yang menggurita, kasus-kasus penghilangan paksa, hingga pengaruh politik dalam kehidupan sehari-hari terasa sangat nyata dan kontekstual dalam narasi yang ditulis Okky Madasari lewat perspektif yang peduli akar rumput. Sangat mengagumkan apabila mengingat ini adalah novel debut beliau pada usia 26 tahun.

Meski banyak sekali tokoh yang berkelindan dalam kisahnya, sejatinya novel Entrok hanya berpusat pada dua tokoh utama: Marni, seorang perempuan desa yang gigih membangun usahanya dari nol, dan Rahayu, anaknya yang tumbuh dengan paham religius dan sangat kritis terhadap sistem yang otoriter.

Melalui sudut pandang orang pertama (serba tahu) dari kedua tokohnya, Okky menyuarakan kritik terhadap ketimpangan sosial, represi negara lewat militerisme, kemiskinan struktural, dan juga propaganda politik yang ditanamkan pemerintah selama berpuluh-puluh tahun berkuasa. Bahkan, judul "Entrok" sendiri—yang dalam bahasa Jawa bermakna kutang atau bra—menjadi simbol kebebasan tubuh dan pilihan perempuan, sekaligus sindiran terhadap kontrol sosial atas otoritas diri dan moralitas di lingkungannya.

Kendati tak ada buku sejarah formal yang pernah menyinggung soal politik militerisme yang dijalankan pemerintah pada masa orde baru, atau perihal propaganda kebencian terhadap PKI, novel ini berusaha meyakinkan kita bahwa peristiwa kelam semacam itu memang benar terjadi. TNI yang sejatinya dibentuk sebagai pelindung rakyat justru bertindak sebaliknya. Mengutip monolog Rahayu: “Dulu, aku pernah bertanya pada Ibu kenapa orang-orang berseragam datang ke rumah kami. Kata Ibu, untuk keamanan. Lalu kenapa Ibu selalu memberikan uang pada mereka? tanyaku lagi. Namanya keamanan ya bayar, jawab Ibu.”

Lewat novel ini, kita juga tahu bahwasanya pada awal tahun 1970-an hingga rezim orde baru runtuh, program Keluarga Berencana (KB) dilakukan dengan cara-cara paksaan dengan dalih mengendalikan kelahiran. Jalannya program tersebut lagi-lagi melalui peran TNI yang ditugaskan untuk menggiring para istri agar bersedia disuntik KB rutin setiap bulan.

Propaganda pemerintahan orde baru tentu tak berakhir di situ. Orang-orang PKI pada masa itu seolah-olah dianggap hama yang harus diberangus. Malahan, masyarakat yang bukan PKI tetapi tidak manut dengan aturan pemerintah, terpaksa harus di-PKI-kan dengan memberi label "ET" yang merujuk pada singkatan Eks-Tapol (tahanan politik) pada KTP mereka.

Politik berasisasi juga tak luput disinggung dalam novel ini. Semua masyarakat pada masa orde baru dibujuk untuk mengonsumsi satu jenis bahan pangan pokok, yaitu nasi, yang konon dijual dan didistribusikan pula lewat campur tangan pemerintah. “Hehe... zaman sudah semakin modern sekarang. Semua yang ndeso dan kuno sudah mulai ditinggalkan. Semua orang sudah makan nasi. Tidak ada lagi yang mau makan gaplek. Gaplek dianggap kere, ndeso, nggak ada gizinya. Padahal gaplek rasanya kan lebih mantap daripada nasi.”

Lantas, apa lagi? Sentimen negatif terhadap etnis Cina, pengambilalihan paksa tanah milik warga, dan deretan tindakan represif lainnya yang terekam dalam novel ini mustahil tidak membuat pembaca misuh. Lalu, sebagaimana dikatakan Seno Gumira Ajidarma, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.�� Dengan membaca novel ini bukan berarti kita diajak mengorek luka lama, tapi justru membuat kita mafhum apa sebab terjadinya, dan menjadikan kita peduli agar sejarah yang sama tidak terulang kembali.

“Tapi apakah ada lagi yang lebih berkuasa dibanding orang-orang ini? Mereka akan selalu menjadi pemenang dalam setiap perebutan. Entah itu harta, harga diri, ataupun nyawa.”
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
April 10, 2014
Novel ini sudah di rak buku sejak awal 2013, ketika ada pameran dan Entrok dibandrol hanya 20.000. Tetapi pagi ini sebelum mencoblos di tanggal 9 April 2014, saat merapikan dan bersih-bersih debu di rak, menemukan buku ini. Tiba-tiba tergerak untuk membaca beberapa halaman dan DUUUUUER!!.

Bandingkan dadaku dengan dada simbok yang besar, kendor, dan menggelantung seperti pepaya.

Diam-diam aku mulai tak nyaman dengan dadaku yang mringkili.

Ini entrok. Ada dua segitiga yang bisa menutup gumpalan dada. Ukurannya pas dan agak menekan. Entrok itu menekan dada sehingga tetap kencang, tidak nglawer-nglawer, meskipun berlari kencang atau melompat.


Kisah bermula dari perjalanan hidup Marni di tengah lingkungan miskin bersama simbok, yang hanya bertugas sebagai pengupas singkong di pasar. Lalu marni menguli, dan dari uang nguli dikumpulkan menjadi modal berdagang sayuran. Dan membesar hingga menjadi juragan dan rentenir. Dari pasar itulah Marni bertemu Teja, yang kelak menjadi suaminya dan ayah bagi Rahayu.

Hidup masa itu benar-benar menjengkelkan. Begitu menurut yang diceritakan Okky Madasari. Saat kehidupan Marni dan keluarga mulai mapan selalu ada saja permasalahan yang muncul. Saat menjadi rentenir Marni dimusuhi kaum santri. Di sisi lain ada pihak yang terus merongrong dengan meminta jatah sesuka hatinya, yaitu tentara. Dan Marni benar2 terpojok ketika Marni membutuhkan tentara dari hardikan kaum santri.

Dari bagian awal novel ini kental akan konflik kaum santri-kaum abangan-kaum priyayi. Kaum santri diwakili oleh pihak masjid dan kyai, yang menentang kegiatan pinjam-meminjam bebrunga Marni. Kaum abangan adalah Marni sendiri dengan percaya klenik dan tidak mengenal islam. Sedang kaum priyayi adalah kaum terhormat dan ditakuti kedua kaum sebelumnya, yaitu tentara, polisi, dan guru serta aparat baik desa, camat, aau bupati.

Marni benar-benar memosisikan sebagai kaum abangan yang harus hormat dan 'menghamba' kepada kaum priyayi. Bahkan menuruti semua permintaan yang terkesan memeras dari kaum priyayi. MUlai minta uang keamanan saban dua pekan, minta sumbangan pembangunan ronda, sumbangan kampanye, dana bantuan partai Golkar, dll. Tetapi Marni sudah terbiasa merelakan hasil jerih payahnya direnggut mereka. Marni benar-benar wanita tangguh.

Tetapi bagaimana kalau anaknya menjadi musuh pertama baginya? Rahayu adalah generasi dengan didikan bangku sekolah dan madrasah. Rahayu menjadi generasi santri yang menentang semua praktik kejawen Marni.
Dia bilang hanya Gusti Allah yang boleh disembah. Lha iya, tapi wong aku kenal Gusti Allah ya baru-baru ini saja. Lha gimana mau minta kalau belum kenal(h.101) Meski abangan Marni bukan abangan bodoh.

Masalah-masalah bertubi-tubi datang tanpa komando. Meski kondisi keuangan Marni aman-aman saja, tetapi selalu saja ada kerikil berbagai ukuran meranjau jalan rumah tangganya. Mulai dari Teja yang seperti lelaki gombal mukiyo dan main perempuan. Lalu gunjingan tetangga iri, yang dikata Marni memelihara tuyul sampai pesugihan.

dari novel ini aku mulai mengerti kebencian tentara. Tentara sama bosoknya dengan penjahat masa itu. Tentara-tentara itu, apa pun yang mereka lakukan, apa pun yang mereka katakan, intinya ya duit. Selama kita nuruti permintaan mereka, memberikan berapa pun duit yang diminta, beres urusan cari makan dan urusan dagang.(h.111)

Novel ini juga menyinggung berbagai kasus: penembakan dan pembunuhan para gelandangan serta preman (red: gondrong dan tato), PKI, pemberantasan kaum china, serta konflik tanah antara tentara dan rakyat.

Tetapi konflik demi konflik, membuat dua permepuan ini menemu titik kulminasi. Masalah laki-laki menjadi petaka semuanya. Ketika Rahayau menjadi istri kedua amir, lalu masuk pesantren. Bencana dimulai. Dengan akhir Rahayu yang membantu warga membela tanah, kemudian di penjara dan dicap ET. Shit! Kurang ajar itu tentara!

Di novel ini juga hawa feminis sangat terasa. Bagaimana tokoh sentra yaitu Marni mendominiasi keputusan dibandingkan suaminya Teja ataupun laki-laki lain. Bahkan menaklukkan tentara dengan hartanya. Yaa benar wanita diceritakan lebih memiliki kuasa ketimbang laki-laki. Bahkan Marni muda, mendobrak rutinistas ilok-ora ilok di PAsar dengan menajdi kuli permepuan pertama. Lalu menjadikan Teja hanya sebagai simbol suami, kegigihan tidak mau dicerai karena hanya akan membagi harta menjadi dua. Lalu pada kuli-kuli di kebun tebu, dia menjadi juragan permepuan. Ya kalau boleh dibilang Marni adalah petani tanpa pendidikan yang menjadi permepuan bertangan besi.

Tetapi nasib perempuan kembali dinomor duakan. Itulah ending dari ENTROK! Seperti entrok, barang kecil yang hanya untuk menopang susu. Wanita disimbolkan demikian. Urusannya hanya entrok dan sekitarnya.

Aku mewek di beberapa bagian. Kondisi kemiskinan desa, nasi aking, perilaku tengkulak di area pertanian, dll. Jadi ingat desaku. Terlebih novel ini sangat mentrasnlate basaha jawa ke bahasa indonesia: lets look! Lha ya iya, yang tahu dosa apa tidak itu siapa!(h.166). Sbg orang Jawa aku tahu maksudnya, tapi apa layak disampaikan dalam bahasa indonesia. Lalu Okky Madasari menggiring paradigma pembaca atas prespektif penulis terhadap kaum CHina, misal: Koh Cayadi memang Cina, tapi Cina yang baik.(h.112). Sedang di novel memamng tidak diceritakan tokoh CIna yang "tidak baik". Jadi kalimat ini meluncur atas pikiran Okky bukan pikiran Marni. Sedikit mengganggu memang, terlebih ini urusannya sama etnis yang rawan.

Tapi novel ini pertama aku underestimate-kan. Jebul keren!
Sungkem!
Profile Image for Irwan.
Author 9 books122 followers
January 7, 2012
Mari baca buku ini. Buku yang bagus. Penulisannya prigel. Isinya dalam. Jangan terkecoh dengan kemasannya yang mirip chicklit :-)

Entrok (kutang) menjadi simbolisasi yang bagus dan awal yang cerdas dari kisah hidup seorang rakyat biasa di jaman rejim militer. Memiliki entrok menjadi permulaan sebuah ambisi besar seorang rakyat kecil untuk hidup layak dan dihormati. Perjalanannya mencari harta, dengan segala pengetahuannya yang tradisional dan terbatas, membuatnya berbenturan dengan berbagai elemen kemasyarakatan yang minim toleransi. Diantaranya kekuatan kelompok bersenjata yang manipulatif dan intimidatif; praktik agama samawi yang penuh penghakiman; dan rasa-rasa keseharian dalam dinamika sosial berupa rasa iri, dengki, terancam, membutuhkan dan sebagainya. Dan penulis berhasil mencapurkan elemen-elemen tersebut menjadi ramuan kehidupan keseharian. Rasa iri bercampur elemen agama bisa melahirkan hujatan dan rasan-rasan fitnah. Rasa tamak dan kekuatan militer melahirkan penindasan dan pemerasan.

Carut marut dan ketidakjelasan yang terjadi di era pasca reformasi kadang mencetuskan nostalgia "enak"nya hidup di jaman Suharto. Buku ini mengingatkan sebaliknya. Rejim militer itu kejam. Mungkin intimidasinya bisa memberi ilusi stabilitas secara umum. Tapi akankah Anda akan berpikir sama bila anda dapat lotre menjadi sebagian orang yang diintimidasi dan diperas tentara atau dicap PKI?

Profile Image for Nisa diani.
20 reviews4 followers
May 19, 2010
Ketika saya membaca Entrok, saya merasa Entrok seperti sebuah kaset kusut yang diputar berkali-kali di telinga saya, karena saya terlanjur terlalu sering mendengar cerita ibu saya, . Saya jadi membenci buku ini, karena buku ini benar. Saya membenci buku ini karena polemik itupun yang saya dengar dari ibu saya berulang-ulang. Saya jadi merasa menjadi Rahayu. Ibu saya yang juga mengalami masa gadis antara rentang waktu yang sama dengan Marni. Ia pun mengalami pergolakan yang sama dengan Marni. Diam-diam menyisihkan uang dari berdagang demi membeli entrok. Meski saat itu eyang saya juga sangat berbaik hati menjahitkan ibu saya kutang, pakaian dalam perempuan tanpa kawat penyangga. Eyang saya juga masih peduli dengan memberi sedikit kalimat penghibur bahwa kutang memiliki fungsi ganda sebagai tempat penyimpan uang, karena biasanya ada kantung kecil yang dijahitkan pada kutang tersebut. Kalau belum cukup, eyang selalu menambahkan renda-renda pipihan. Tapi tetap saja kutang memang tidak senyaman Entrok dalam menahan beban payudara.

Pengalaman pembacaan saya, membuat saya berulah menjadi pembaca tidak sabar, alur Entrok yang saya baca saya rasa menjadi terlalu lambat, karena pengalaman saya mendengarkan curahan hati ibu saya. Saya jadi berulah menjatuhkan dakwaan bahwa Marni dan Rahayu adalah dua perempuan penggerutu. Dua orang perempuan dari kultur Jawa yang mencoba melakukan protes terselubung dalam catatan memoarnya. Entrok sangat kontras membenturkan nilai-nilai masyarakat Jawa yang kental balutan filosofis “Nerimo ing pandum” dan ikhlas, dengan sikap protes menuntut keadilan atas ganjaran usaha dan kerja keras yang dilakukan. Filosofis kultur masyarakat Jawa yang patriarki juga coba digelitik penulis. Tapi lagi-lagi saya sadar saya jadi membenci buku ini, karena buku ini benar. Entrok menjadi katup pembuka pasivitas perempuan dalam menyikapi masalah hidupnya dengan dialog tokoh-tokohnya secara humanis dan real.

Begitu juga soal ambisi Marni, kegamangan Rahayu pun saya rasakan. Ambisi Marni yang menginginkan Rahayu bisa hidup “mapan” dalam versi dambaan “Cinderella”. Dari orang biasa dan tidak punya apa-apa menjadi seseorang yang disegani dan mempunyai kedudukan yang dihargai oleh masyarakat juga saya alami. Ini seperti sentilan yang tajam menukik pada stigma dan proyeksi masa depan idaman masa itu. Maka ini pula lah yang membuat saya merasa menjadi membenci buku ini. Bukan karena buku ini bersalah karena bercerita tentang sesuatu, tapi karena buku ini benar karena bercerita kebenaran.

Profile Image for Aqmarina Andira.
Author 3 books10 followers
August 20, 2013
Power is a very dangerous thing. I think everyone will agree with me.

Just because had successfully "kicked" PKI's ass together, and had declared themselves as the "winning force" in Indonesia, military and religious organisation has this powerful domination in people's life, especially in the "new order" era. Just by walking around in your green uniform and your leather high boots or wearing a white cap, growing your beard, and putting turban around your neck, you can easily make everything right and accuse everyone else that annoy you as a "public enemy" or a "sinner".

That is what Okky Madasari tried to tell us in her novel, Entrok. At least that is what I think of after reading it. Entrok is a very emotional novel. I mean, if being a passionate, hardworking, and honest woman is not enough, because everyone is judging you, robbing you, and betraying you, what else could you do? When your intention was only helping other, while at the same time trying to help yourself from it, but people said that you rack-rented them. When you just want to thank your "God", but you were labelled as a sinner because you do not know how to worship their God. When you had sacrificed what you have, things that you had achieved after working days and nights for years, just to become a good citizen, good wife, good mother, but people always wanting something more, something easy. What else could you do?

Well, I guess freedom, peace, and independence does not really much affect powerless innocent citizen. They will always be the eternal victim. Squeezed, exploited, tortured, does not matter who the leader is.

Being someone helpless and can't do anything for anyone else, especially for the unfortunate, reading this novel is very emotionally torturing. Because I know it is so so true.

The novel itself is actually very good. Just like Okky Madasari's other work, the thing that interest me the most is its objectivity. It respects the value that is believed by its characters. I love it. But the it is quite bit annoying in the term of spelling error and inconsistency in the character's name. Well, I think it is not supposed to happen, considering the book was published by one of the biggest publisher in Indonesia. Yea, but consider it is forgiven.

Read it!
Profile Image for Safitri Arum Nurlita.
102 reviews10 followers
November 11, 2021
Aku harus mulai dari mana ya? Aku suka sekali dengan buku ini. Secara plot, sudut pandang yang bergantian antara Marni dan Rahayu, juga konflik-konflik sosial yang bikin gregetan sepanjang membaca 😩

Aku kagum sama Marni, dia kuat, dia tau apa yang dia mau dan dia kejar sampai dapat. Berawal dari semangatnya untuk memiliki entrok (bra) menjadi awal mula ia begitu bergairah memutar roda kehidupan. Pemikiran-pemikiran cerdas Marni yang juga membuat kagum walaupun ia tidak sekolah dan buta huruf. Iya, Marni lahir dan dibesarkan di zaman perang. Dimana semua serba sulit bahkan perempuan tidak pernah diberi upah dalam bentuk uang. Perempuan kala itu hanya mendapat upah singkong atau bahan makanan. Mereka dianggap tidak memerlukan uang makanya upah uang hanya diberikan pada lelaki.

Buku ini juga menggambarkan sisi lain mengapa kepercayaan kepada leluhur bisa begitu melekat pada masyakarat kita. Bisa dilihat dari sosok Marni, yang awalnya hanya berdoa tengah malam di bawah pohon Asem. Itulah yang ia yakini. Sesederhana itu. Namun seiring berjalannya waktu dan agama mulai menyebar, keyakinan orang-orang seperti Marni menjadi suatu dosa dalam kacamata agama.

Aku kagum sama karakter Marni🥺 kagum sekali. Banyak sekali konflik sosial yang mulai bergejolak setelah setting waktu tahun 1965. Ia yang memiliki banyak uang saja segitu habis-habisan berkorban, "manut" pada negara.

Ini juga sisi lain yang digambarkan untuk pembaca, kurang lebihnya seperti itu. Karena aku tidak tau hal-hal seperti itu terjadi, aku hanya mendengar dari internet(?)

Ini buku pertama mba Okky yang aku baca, dan aku suka sekali karena buku ini berani menghadirkan konflik-konflik sensitif di Indonesia. Betapa kekuasaan bisa melakukan apa saja. Semoga masa seperti itu tidak terulang lagi 🥺🥺
Profile Image for htanzil.
379 reviews149 followers
October 21, 2010
Novel Entrok merupakan kisah kehidupan dua orang perempuan Sumarni, yang biasa dipanggil Marni dan anaknya, Rahayu. Marni adalah seorang perempuan pemuja leluhur (animisme) yang ulet untuk meraih apa yang diinginkannya, karakternya ini mulai terbentuk sejak ia beranjak remaja. Ketika payudaranya mulai menyembul timbullah keinginan untuk memiliki Entrok (pakaian dalam perempuan) seperti yang dimiliki oleh teman sebayanya.

Keinginannya yang sederhana ini menjadi tak masuk akal karena sebagai keluarga miskin yang tinggal bersama ibunya yang hanya seorang buruh pengupas singkong membuat Entrok menjadi barang yang mewah dan tak terbeli. Namun Marni tak menyerah dengan keadaannya. Ia rela menjadi kuli angkut di pasar agar bisa mendapat uang untuk membeli Entrok.

Akhirnya Marni berhasil membeli sebuah Entrok, pengalamannya ini membentuk persepsi pada dirinya bahwa sebuah mimpi bisa diraihnya asal mau berusaha dan bekerja keras. Hal inilah yang membentuknya menjadi wanita ulet yang tak menyerah bergitu saja pada segala keterbatasannya. Kisah Marni terus bergulir, ia menikah dan mempunyai seorang anak. Sayangnya suaminya seorang pemalas, dan doyan bermain perempuan, dengan demikian Marnilah yang mencari nafkah dan menjadi tulang punggung keluarga. Ia terus bekerja, mulai dari buruh pengupas singkong, kuli angkut, penjual panci hingga akhirnya menjadi seorang rentenir yang kaya.

Profesi Marni sebagai seorang rentenir memang membuatnya menjadi kaya namun ia harus menanggung cemoohan orang yang mencapnya sebagai lintah darat. Namun Marni tetap bergeming, ia terus menjalankan usahanya karena menurutnya apa yang dilakukannya tidaklah bersalah malah justru menolong orang-orang yang membutuhkan uang. Selain itu kepercayaan Marni yang masih memuja leluhurnya dengan sesajen-sesajen membuat ia dicurigai bersekutu dengan iblis, melakukan pesugihan, memelihara tuyul agar bisa memperoleh kekayaan.

Adapun Rahayu dikisahkan sebagai wanita yang cerdas, berpendidikan dan taat dalam menjalankan ibadah agamanya. Semakin dewasa ketika menyadari bahwa ibunya seorang rentenir dan pemujaan terhadap leluhur yang dianggapnya musrik membuat ia memberontak terhadap ibunya sendiri. Puncaknya adalah ketika ia memutuskan untuk menikah dengan seorang pria beristri dan pergi meninggalkan ibunya. Semenjak menikah hubungan dengan Rahayu dan ibunya menjadi terputus karena ia tak pernah memberi kabar pada kedua orang tuanya. Rahayu dan suaminya kemudian bergabung dalam kelompok dakwah yang membela penduduk yang tanahnya hendak tergusur oleh proyek bendungan.

Dari narasi dua perempuan, Marni dan Rahayu lah kisah Entrok terbangun dimana kedua tokoh ini menjadi naratornya secara bergantian. Sebenarnya kisah dalam novel ini sederhana yaitu perjalanan hidup dua wanita yang penuh perjuangan melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Yang membuat novel ini menarik adalah munculnya beberapa tema besar yang mewarnai novel ini. yaitu tema feminisme, pluralisme, politik, profesi, kepercayaan, serta agama. Menariknya walau memiliki beberapa tema namun semua tema itu terawi secara baik sehingga menghasilkan kisah yang utuh dan mengalir.

Nuansa feminisme merebak di lembar-lembar awal novel ini dimana akan telihat dengan jelas bahwa berbeda dengan buruh pria yang mendapat upah berupa uang buruh-buruh perempuan di pasar tidak diupahi dengan uang melainkan dengan bahan makanan, hal ini menyiratkan bahwa tenaga pria lebih dihargai dibanding tenaga wanita. Suka atau tidak suka hal ini masih banyak terjadi di pabrik-pabrik kita dimana buruh wanita dibayar lebih rendah dibanding buruh pria.

Selain tema feminisme, tema sosial politik dan pluralisme tampaknya merupakan tema yang paling dominan mewarnai kisah Marni dan Rahayu. Dalam novel ini situasi sosial dan politik dilihat dari sudut pandang rakyat kecil yang diwakili oleh Marni dan Rahayu. Ketika Marni sukses saat itu merupakan masa keemasan bagi pemerintahan yang didominasi oleh militer dimana dengan wewenang teritorialnya militer menjadi penguasa, menyusup masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Dengan dalih sebagai penjaga kemanan, para oknum tentara meminta ‘upeti’ pada mereka yang berduit. Demikian pula dengan Marni, demi kelangsungan usahanya, dua minggu sekali ia harus membayar upeti pada orang-orang berseragam dan hal ini terus berlangsung seumur hidupnya. Inilah masa dimana segala masalah bisa diselesaikan dengan uang dan koneksi dengan militer.

Tak hanya menangkut soal keamanan, kebebasan masyarakat untuk meyakini kepercayaannyapun dicampuri oleh negara. Tentara lagi-lagi menjadi alat yang efektif untuk mengendalikan apa agama yang harus dianut rakyatnya. Pasca pemberontakan PKI sesuatu yang berbau China dilarang, hal ini terwakili oleh tokoh Koh Cahyadi yang harus mencantumkan agama Kristen dalam KTP nya padahal ia adalah penganut Konghucu. Barongsai yang merupakan warisan tradisi leluhurnya dilarang karena dianggap simbol PKI, Koh Cahyadi yang kedapatan bermain barongsai otomatis menjadi incaran militer hingga ia harus menyembunyikan dirinya dari kejaran para tentara.

Jika kita mencermati berbagai peristiwa yang dialami oleh para tokohnya akan terlihat bahwa novel ini memang memiliki nilai dokumenter khususnya dalam ranah politik. Dengan mudah ketika membaca Entrok kita akan menemukan kronik dari berbagai peristiwa politik yang terjadi di tahun 1950-1999 misalnya soal Pemilu yang mengharuskan pemilih untuk memilih lambang tertentu, peristiwa peledakan candi Borobudur, petrus (pembunuhan misterius), polemik waduk kedungombo, dll. Hal yang menarik karena melalui novel ini kita akan diingatkan akan sejarah dan peristiwa sosial dan politik masa lampau yang mungkin nyaris kita lupakan.

Karakter tokoh Marni dan Rahayu tampak tereksplorasi dengan baik. Satu hal yang menarik adalah walau bertutur tentang tokoh perempuan dan ditulis oleh seorang perempuan, penulisnya tak lantas menjadikan kedua tokoh ini sebagai ‘hero’. Marni dan Rahayu hanyalah perempuan biasa. Mereka digambarkan apa adanya termasuk kebaikan dan keburukannya. Marni walau perempuan yang mandiri, ulet dan tegar namun ia menyerah juga terhadap keadaan yang membuatnya menyuap tentara untuk menyelamatkan hartanya. Ia mengutuk kebisaan suap yang dilakukan para tentara namun ia tak melawan karena tak punya kuasa dan keberanian untuk melawannya. Secara moral ia bahkan jatuh dalam pelukan pria lain yang belum dinikahinya.

Novel ini secara keseluruhan memang menarik, namun ada dua hal yang menjadi catatan saya. Pertama ada satu bagian kisah yang bagi saya agak terlalu mengada-ada dan sedikit berlebihan, yaitu pada bab “Kentut Kali Manggis” dimana ketika seorang penduduk desa kedapatan buang angin saat diinterogasi oleh tentara karena kedapatan bermain kartu akhirnya harus dihukum berendam di sungai semalaman.

Kejadian ini diketahui oleh Rahayu dan kawan-kawan sehingga mereka berniat untuk mengungkapkan tindakan semena-mena yang dilakukan oleh oknum tentara itu ke dalam koran. Akibatnya sungguh tak terduga karena menyebabkan kematian bagi si penduduk desa yang kedapatan buang angin tersebut
Kasus yang berawal dari main kartu dan buang angin yang menyebabkan kematian ini saya rasa terlalu mengada-ngada. Mungkin penulis bermaksud untuk mendeskripsikan kesewenang-wenangan tentara tapi saya rasa hal ini terlalu berlebihan, andai saja kasusnya diganti dengan yang sedikit lebih kompleks maka akan terkesan lebih realistis.

Kemudian dalam hal judul, judul novel ini memang menarik sekali “Entrok” mudah diingat dan membuat penasaran pembacanya akan arti dari Entrok. Entrok atau pakaian dalam wanita memang menjadi dasar dari Marni untuk meraih mimpinya tapi sayangnya kisah Entrok ini hanya terdapat di bab pertama, setelah itu Entrok tak lagi disebut-sebut. Padahal penulis bisa saja menyelipkan Entrok dalam kisah perjalanan Marni, misalnya melalui kenangan Marni akan entrok yg tiba-tiba muncul lagi ketika kesulitan menderanya, atau bisa saja dimunculkan ketika Marni memberi wejangan kepada anaknya, dll.

Karena Entrok tidak menjadi simbol dari kehidupan Marni dan Rahayu, maka Entrok dalam novel ini hanyalah menjadi sebuah benda kenangan yang pernah diimpikan Marni. Akibatnya Entrok itu sendiri seakan kurang menjiwai novel ini secara keseluruhan selain menjadi judul yang menarik saja.

Terlepas dari hal di atas, novel ini menarik untuk dibaca, penulis menuturkan kisah Marni dan Rahayu dengan lancar, beberapa kalimat lokal disisipkan dalam dialog-dialognya sehingga kisahnya terasa membumi. Melalui novel ini kita akan melihat sebuah kisah bagaimana Marni dan Rahayu sama-sama tak berdaya dan menjadi korban dari orang-orang yang memiliki kuasa dan senjata. Berbagai tema sosial seperti yang telah diungkap di atas membuat novel ini memiliki keunggulan sendiri dalam merekam situasi sosial dan politik di era 50-an hingga 90-an.

Dalam novel ini kita juga akan melihat bahwa walau setting novel ini terjadi berpuluh tahun yang lalu namun beberapa situasi sosial yang terungk masih terjadi dimasa kini sehingga masih relevan dengan situasi sekarang. Sedemikian lambatkah perubahan yang terjadi di Indonesia khususnya mengenai isu pluralisme dan kesewenangan penguasa? Silahkan pembaca menyimpulkannya sendiri.

@htanzil
http://bukuygkubaca.blogspot.com/
Profile Image for Zeventina OB.
Author 1 book30 followers
May 12, 2010
Judul : ENTROK
Penulis : Okky Madasari
Ilustrator : Restu Ratnaningtyas
Tebal : 282 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-979-22-5589-8


”Entrok” berisi kritik sosial dan kegelisahan terhadap kesewenang-wenangan “aparat berbaju loreng” di desa Singget era 1950-1994. Kompleksitas kehidupan masyarakat desa lapisan bawah yang sudah kehilangan toleransi, kerasnya kehidupan dan kecurangan pemilu partai kuning mewarnai isi novel ini bersama lika likunya.

Entrok sendiri berarti segitiga penutup dada yang dipakai agar dada yang mringkili tidak nglawer-nglawer. Sumarni, tokoh sentral dalam cerita ini, awalnya begitu terkagum-kagum melihat entrok milik Tinah, anak pakliknya. Sayang di desanya, entrok termasuk jenis barang mewah yang sulit didapat. Entrok ini pula yang menjadi titik awal perjuangan Sumarni mencari uang. Dari mulai bekerja di pasar sebagai pengupas singkong yang dibayar singkong, meningkat menjadi kuli angkut wanita di pasar yang dibayar dengan uang, menjadi tukang sayur keliling desa, meminjamkan uang pada para penghuni pasar dengan bunga 10% sampai akhirnya sukses menjadi salah satu orang terkaya di desanya yang mempunyai TV dan mobil.

Penceritaan novel ini dibalik, bab paling akhir disimpan di halaman awal, dan bab awal dimulai dari bab 2. Teknik penceritaannya diambil dari dua sudut pandang, dari sisi Sumarni dan sisi Rahayu. Mereka berselang seling saling bercerita bab per bab.

Inti ceritanya adalah tentang perjalanan hidup tiga generasi, si mbok, Sumarni dan Rahayu yang terlahir pada era susah. Hidup di desa begitu kompleks, jangankan keburukan, kebaikan saja bisa menjadi prasangka. Prasangka sudah menjadi budaya, semua tingkah polah dikomentari miring.

Sumarni, walau terlahir sebagai wanita desa yang tak pernah mengenal bangku sekolah dan buta huruf, namun mempunyai jiwa bisnis dan semangat yang sangat tinggi. Dengan menganut kejawen, dia mengagungkan Tuhan dengan caranya sendiri. Tuhannya adalah Ibu Mbah Bumi Bapa Kuasa. Para leluhur yang dia percaya dapat mengabulkan semua keinginannya.

Sumarni yang sepanjang hidupnya bekerja keras demi mendapatkan sesuatu selalu mendapat masalah dengan masyarakat sekitar hanya gara-gara prasangka. Ditambah masalahnya dengan “penguasa berbaju loreng” yang sedikit-sedikit datang meminta uang keamanan dengan ancaman terselubung: “Jika tidak mau membayar keamanan, apa yu Marni tidak takut masuk penjara dicap PKI?”

Teja, suaminya selalu meredam keinginannya membantah para “baju loreng” itu. Teja tak mau nasib mereka akan berujung seperti Tikno, di penjara dan dicap PKI. Walau hati mangkel, Marni selalu menuruti keinginan para tentara itu dan ngedumel belakang Teja. Dia kesal pada Teja, pada penguasa yang lebih mirip pemeras, dan pada sistem yang menurutnya tak adil.

Dari Teja, Sumarni melahirkan Rahayu. Sumarni bertekad, Rahayu harus sekolah dan menjadi pegawai. Jangan seperti dirinya yang membacapun tak bisa. Dia berharap anaknya nanti akan bekerja di pabrik gula.

Rahayu hidup di generasi berbeda. Saat Sumarni harus mengucurkan keringat demi keringat untuk mencapai semua kesuksesannya, Rahayu tinggal terima enaknya saja. Tingkah polah Rahayu dengan pemikiran modern-nya sering sekali menyakitkan hati sang ibu. Seperti saat pak Waji, Guru Rahayu di sekolah mengatakan bahwa Ibunya berdosa. Depan kelas, depan semua murid, pak Guru berkata bahwa Ibunya tak beragama. Ibu Sirik, masih menyembah leluhur, memberi makan setan setiap hari dengan sesajen. Rahayu diejek teman-temannya, dengan marah saat sampai dirumah, Rahayu membuang tumpeng sesajen ibunya. Mereka bertengkar hebat yang diakhiri dengan tangisan.

Rahayu benci ibunya. Ibunya seorang renternir. Kata Gurunya, renternir itu jelek. Namun dia juga heran, jika Gurunya bilang jelek, lalu mengapa dia ikut-ikut meminjam uang pada Ibunya tanpa pernah mau membayar?

Saat lulus SMA, pemikiran Rahayu makin kritis. Perbedaan begitu besar. Tiada hari tanpa pertengkaran. Akhirnya Rahayu memutuskan untuk kuliah di Jogya. Hendak mengambil pertanian, namun jalan hidup menggariskan lain.

Di Jogya, dia merasakan nikmatnya berpisah dengan sang ibu. Dia tak pernah pulang. Saat kuliah, Rahayu menjadi aktivis mesjid di kampusnya. Disana dia berjumpa Amri, ketua yang sangat dikaguminya. Sayang sekali Amri sudah punya istri. Karena di Islam diperbolehkan menikahi lebih dari satu wanita, maka Rahayu pulang membawa Amri dan meminta ijin pada ibunya untuk menikah. Ibunya yang tahu bahwa Amri sudah punya istri tak setuju, namun kekerasan hati Rahayu seperti batu karang, tak tergoyahkan.

Akhirnya, Rahayu dan Amri menikah. Guru Amri dan Rahayu adalah pak Kyai. Rahayu mengagumi pak Kyai, gurunya. Pak Kyai beristri tiga, dia memperlakukan ketiga istrinya dengan baik. Dia selalu membela orang miskin yang tertindas. Pola pikirnya membuat Rahayu kagum. Maka saat ada misi ke desa yang akan digusur, dia bersedia ikut. Bersama Amri, suaminya dan pak Kyai, mereka pergi ke desa itu. Mereka komitmen akan membela masyarakat yang tanahnya akan digusur. Mereka akan tinggal disana walau nyawa taruhannya.

Disana, Rahayu kehilangan Amri. Amri tertembak sehabis baku hantam dengan petugas loreng. Di tengah duka, pak Kyai mencumbunya dan menawarkan menikahinya saat mereka kembali ke Jogya untuk menjadi istri ke empat. Rahayu goyah. Saat kekaguman memuncak pada pak Kyai, kekaguman itu pun luntur. Pak Kyai tak menjaga komitmen untuk membantu masyarakat desa yang akan digusur, malah memutuskan pulang setelah diancam kegiatannya di Jogya akan dibubarkan oleh seorang petinggi pemerintahan.

Rahayu kecewa, demi komitmen, dia menolak ajakan pak Kyai pulang. Dia memilih menjadi tameng membela pihak miskin yang tertindas. Cita-citanya adalah, andaikan dia mati, semoga dunia akan mengabarkan berita pembunuhan masal ini. Telah disediakannya spanduk2 berisi arogansi penguasa. Namun sayang, nasibnya harus berakhir di penjara, disiksa dan diperkosa sampai hidupnya kehilangan “nyawa”. Sama dengan ibunya yang kehilangan “ingatan”. Namun indahnya adalah saat dalam kondisi demikianlah hati ibu dan anak ini saling terpaut kembali.



Kritik pada novel ini adalah:

1. Saat Amri, suami Rahayu yang dia cintai setengah mati, mati tertembak peluru aparat, saat duka belum lagi mengering, Rahayu malah selingkuh dengan pak Kyai. Dia menikmati saat pak Kyai mencumbunya.

2. Begitu banyak kebetulan. Nasib ibunya dan nasib Rahayu hampir sama. Kehilangan suami dalam saat yang bersamaan. Kehilangan kepercayaan kepada orang saat bersamaan. Lalu penggambaran lelaki desa, digambarkan selalu mempunyai wanita simpanan. Entah apakah itu lazim dijamannya atau tidak. Nyatanya tak ditemukan pernikahan seperti figur yang seharusnya. Saya khawatir Entrok membuat para wanita lajang yang belum menikah menjadi takut untuk menikah dan mendapatkan cinta yang manis dan penuh kesetiaan.




Supratman, 10 Mei 2010

Zeventina
Profile Image for Fadillah.
830 reviews51 followers
December 8, 2020
I am instantly a fan of Okky Madasari -- The moment she wrote about Marni, one of the main characters in the book insisted that she can become "Kuli" despite people around her said it has never been done by any woman before and it has always been a man's work. She persevered and got what she fought for. She was too strong headed for those who seek to control her but was inspirational for those who saw her jouney started from scratch and ultimately found success. Does her success comes with a price? Of course. Jealousy, Rumors and on top of that, her cold relationship with her daughter. Just like Marni, Rahayu also a strong headed woman. She disliked her mother's way of life - her work as a money lender , her traditional value and her old practice of worshipping the spirit. Rahayu saw it as sinful and against what Islam has taught her in school. The narrative of the books was done in 2 perspective, hence the chapter is divided alternately between Marni and Rahayu story. I can't help but drawing the parallel of how similar and familiar it was with a rural malay society back in the 60s - 90s. If someone is wealthy and rich, rumors of he/she has 'toyol' will definitely circulated among the villagers. While Islam is the main faith, back then it was common for these villagers to go to "bomoh/pawang/ustaz" to ask for some protection or safety. Then, the suspicions towards someone who doesn't look like them or of between races is so illuminating, that everything is directly associated with communist or PKI. 3 themes that stood out strongly in her plot is Money, Hypocrisy and Abuse of power. Government soldiers that asked for bribes and pocket money from villagers and Marni herself, Rahayu's religious teachers who kept bad-mouthing her mothers about her work as money lender but still borrow from her mother at the end of the day, Marni's debtors who in the beginning promise to pay but when Marni decided to collect her due was being reprimanded for being stingy. Honestly, I was more drawn towards Marni Character than Rahayu, probably deep down I felt Marni grew up being handed nothing and still managed to own land, house and car While Rahayu grew up to be a huge disappointment, a college drop out and a second wife of some guy she met during her study. Overall, this is such a great read. I highly recommend it and if you wonder, why the title is "Entrok" which is Javanese word for "Bra" , it is the motivation source for Marni to not live in poverty as she could not afford to buy it when her breasts started to grow. She lost her father when she was young, her mother is poor and she was not educated hence in order to buy it is to work and earn the money herself.
Profile Image for Sri Noviana Zai.
115 reviews9 followers
January 9, 2022
Membaca novel ini sungguh membuat emosiku panas-dingin. Pasalnya, cerita yang digambarkan membuatku membatin seperti, "kenapa gak melawan aja?" atau "aduhhh kalau jadi aku udah kulawan aja tentara-tentara ini". Begitulah... Ada dua sudut pandang wanita yang diceritakan. Pertama adalah Sumarni seorang ibu yang sedari kecil memiliki nasib yang tidak beruntung, dan Rahayu seorang anak berpendidikan dari ibu yang masa kecilnya tidak beruntung tersebut. Namun hari demi hari hidup mereka semakin baik dalam segi ekonomi, mengangkat mereka menjadi keluarga juragan. Siapa sangka hal tersebut tak pernah disukai anaknya, Rahayu sejak masih SD. Lantaran Ibunya sendiri menganut ajaran animisme dalam mendapatkan rezeki keluarga, baginya.
.
.
.
"Terus, hubungan kisahnya dengan cover BH apaan?" Hmm... dimulai dari Sumarni ingin memiliki BH lah semua nasib mulai berubah. Berawal dari sinilah ia berpikir, "seorang perempuan harusnya tak hanya bekerja sebagai pengupas singkong atau penumbuk padi dan kopi, lebih dari itu maka perempuan bisa mendapatkan upah berupa uang dan menghidupi keluarga dengan baik dan benar." Sepertinya, ini bagian tema feminisme? Hahaha iya sih di awal-awal cerita begitu. Tapi beberapa bab di dalam juga kadang masih menyinggung feminisme.

Tapi dari dua perbedaan perempuan di dalam cerita ini, ada satu kesamaan mereka. Mereka berdua adalah perempuan yang sama-yang tidak berdaya dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan dan bersenjata. Semua kisah berlatar pada masa orde baru.

Disaat membaca ini tiba-tiba aku teringat si Wiji Thukul itu:
"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif, dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: Lawan!" Tapi yah tapi....mereka hanya rakyat yang tak punya daya untuk semua.
Profile Image for Delasyahma.
242 reviews125 followers
November 1, 2018
Menceritakan tentang kehidupan wanita jawa bernama Marni, yang dari sejak kecil sudah hidup dari kesusahan. Lalu suatu ketika Marni kecil melihat tetangganya menggunakan entrok, saat itulah perjuangan Marni mendapatkan hal yang dia inginkan begitu keras dan gigih tanpa putus asa, hingga yang dia inginkan tercapai.

Apa itu entrok? Itu adalah kalimat pertama saat aku mendengar dan melihat judul dari novel tersebut, dan setelah aku membaca buku ini, terjawab sudah, entrok merupakan kosakata dari bahasa Jawa
yang artinya Bra atau BH.

Novel berlatar belakang 1950-1999 yang di bangun sedemikian apik oleh penulis, membuat aku benar2 masuk ke masa tersebut. Dimana kemiskinan seakan menjadi momok menakutkan, dan TNI dan polisi bukan menjadi pelindung masyarakat, melainkan hanya merampas hak masyarakat.
Dalam kisah ini pun ada beberapa isu yang diangkat salah satunya isu PKI. Dimana disana hak rakyat dipreteli dan siapapun yang tak menuruti keinginan aparat negara maka akan di cap PKI.

Ada pilu dan sesak saat aku membaca buku ini, terasa sekali saat tokoh Marni hanya berusaha bertahan hidup layak sementara banyak orang bahkan orang2 terdekatnya semena-mena.

Aku pikir, setiap buku dari Okky Madasari selalu memiliki kesan2 tersendiri, setia cerita berbeda dan selalu berbekas dihati aku sbg pembacanya. Dari 3 buku lainnya yang sudah aku baca Entrok merupakan yang paling membekas.

Rate :4,5/5🌟
Profile Image for Dani Noviandi.
229 reviews16 followers
February 3, 2012
Uang!

yup,tema besar buku ini adalah uang,bukan ENTROK! masih bingung apa itu entrok?coba googling lah,jangan males.

sempet skeptis sama buku ini,walopun gak terlalu tebel,tp pas blm baca,kok kayanya gak banget ya bukunya,kaya buku aneh gt,hehe..ternyata tidak sodara2,buku ini menarik! buku ini mungkin bakal dibredel kalo terbit pas orde baru,dan memang buku ini agak keras (beda kan ama entrok,masa entrok keras ). selain itu,buku ini mampu membius,sumpah deh,kesel sendiri baca buku ini,emosinya dapet,entah apa penggambaran orang2 dulu tuh sesuai dg kenyataan seperti itu,atau itu cuma rekaan penulis biasa.

buku ini telah ada yg mereview sebelumnya,dan benar saja,kata2 ending telah terjawab di awal buku akhirnya bisa gw mengerti,brilian deh cara okky dalam gaya penulisannya,yg tadinya bingung apa yg dibahas di bab pertama,akhirnya terkuak dg sendirinya.

cerita dari buku ini sendiri terdiri dari berbagai macam tahun,dan dilihat dari sudut pandang 2 tokoh,rahayu dan sumarni.sisi2 humanis buku ini jg menonjol,dimana kenyataan budaya yg ada di masyarakat,memang benar apa adanya,dan ketika kita membaca,akan berpikir dg sendirinya,'oh iya ya..'

so,dont judge the book by its title,tp pemilihan titlenya emang brilian,bikin org tertarik dan penasaran,untung aja isi bukunya bagus,hehe

rate 5/5
Profile Image for Marissa SF.
172 reviews4 followers
February 6, 2017
Oh..entrok itu artinya kutang atau beha to..baru tau. Keren ini novel tajem kritik sosialnya. Entrok ini sifatnya simbolik start of the beginning..jangan mikir macem2 ini bukan kisah tentang perempuan sundal, lonte, perek, pelacur dkk bukan ya. Ini perjuangan dari 2 sisi tokoh dalam cerita, Marni dan anaknya Rahayu. Berkisah tentang Marni yang bermula ingin memiliki entrok atau kutang, dia memulai perjuangannya untuk mendapatkan entrok dengan mengumpulkan rupiah demi rupiah mulai dari menjadi pengupas telo/singkong, jadi kuli, berdagang, sampe akhirnya jadi rentenir. Marni punya kepercayaan yang dibawa oleh leluhurnya Tuhan versi Marni apa itu namanya Mbah bumi bapak ibu ahh saya benar2 lupa pokoknya itu...Marni berdoa tiap malam dibawah pohon asem dan tak lupa bikin sesajen kala memohon sesuatu atau berterima kasih atas pengabulan doanya.. Nah..sedangkan Rahayu tokoh dari masa yg sudah agak maju menentang keras bahwa kepercayaan ibunya itu salah, Rahayu hanya percaya pada Gusti Allah dan dengan tegas menolak setiap hal2 yang berbau syirik..
Serunya baca novel ini ketika keadaan menjadi 100%berubah terutama pada tokoh Rahayu. Soal ending ngenes ya...dua2nya ya Marni ya Rahayu, kasian mereka...baca deh bagusss beneran.
ALERT...di novel ini akan banyak diceritakan tentang bejatnya aparat negara..itu tuh yang pake seragam loreng2 pada jaman itu
Profile Image for Mark.
1,284 reviews
June 28, 2010
I still consider that reading a work of fiction with footnotes is weird. But without them, I'd probably won't understand what were the underlying premises behind (most parts) of the stories. Like this debut novel by Okky Madasari, "Entrok" (means bra in Javanese language).

I can say that I got some useful insights about rural Javanese people, the poor and uneducated class, from this book. It showed me that it is important to understand backgrounds (may they be social-cultural, economic, education, etc.) of people in order to understand their obsessions. This is quite similar with "market insight", something that I still have trouble to grasp upon.

At least, now I can imagine why the desire to posses beautiful 'entrok' (i.e. bra) can made such big impact to one's life, family and surroundings.

If you still find it hard to believe, go read this story of Marni, an illiterate young woman who was born and lived in a small village in Central Java during the 50s until the 90s, who dreamed of gold-lined and diamond-crusted bras.

Move away, Madonna!
Profile Image for Nona Ana.
122 reviews11 followers
May 3, 2021
Ini adalah novel karya Okky Madasari yang pertama kali saya baca. Saya suka gaya bercerita penulis yang menggunakan sudut pandang yang bergantian pada tiap bab. Sehingga pembaca tahu pikiran dan pergolakan hati tokoh utama yaitu Marni dan Rahayu.

Jika dibab awal kita menemui isu seputar feminisme maka di bab-bab berikutnya konflik yang ditampilkan makin kompleks. Mulai dari konflik politik, agama, dan hal-hal yang bikin muak di era Soeharto. Jujur saat membaca bab ini saya merasa bersyukur karena tidak hidup di era tersebut. Bahkan saya sempat mengkonfirmasi beberapa kejadian pada Ibu saya. Seperti pergantian makanan pokok dari gaplek ke berasa hingga tanda Eks Tapol pada KTP.

Kutipan favorit saya pada buku ini

"Dia bilang hanya Gusti Allah yang boleh disembah. Lha iya, tapi wong aku tahu Gusti Allah ya baru-baru ini saja. Lha gimana mau nyuwun kalo kenal saja belum."


Review lengkap ada disini
Profile Image for Yoyovochka.
307 reviews7 followers
October 18, 2022
Aku kasih bintang lima karena suka sama tokoh utamanya, Bu Marni yang berjiwa sekuat baja meski di akhir bernasib kurang beruntung. Novel ini wajib banget dibaca segala kalangan demi tahu seperti apa zaman yang sering dibilang 'masih penak jamanku to' itu dalam kondisi aslinya. Buku ini menawarkan sejarah kelam bangsa Indonesia yang dikemas dengan sangat apik dan menarik. Review bakalan kupajang di IG
Profile Image for Litsa Khaya.
28 reviews45 followers
December 6, 2017
yak buku feminis ketiga di bulan ini, ahh bener-bener buka cara pandang saya deh
Profile Image for Sharulnizam Yusof.
Author 1 book95 followers
September 27, 2021
Entrok maksudnya bra. Yang dipakai oleh orang perempuan itu. Saya tak tahu pun waktu membeli buku ni, malahan gambar pada covernya pun saya sangka corak biasa. Waktu tu teruja mahu beli buku Indonesia di PBAKL, setelah sekian lama barulah tahu apa itu entrok. Dan gambar covernya.

Duh!

Buku ini kisah dua jiwa sedarah sedaging, Marni dan Rahayu yang berlawanan pandangan tentang hidup. Marni, yang hidupnya bermula pada tahun 1950-an cuba keluar daripada kemiskinan yang melarat bersama simbok (ibu). Disebabkan wanita yang bekerja tidak diberi upah dalam bentuk wang, Marni melawan kebiasaan mengambil upah mengangkat barang (nguli) dan lama-kelamaan hajatnya untuk memiliki entrok menjadi kenyataan. Dari situ, Marni tak memandang ke belakang lagi, kejayaan demi kejayaan dikecapi dan kehidupan Marni bertambah baik dan meningkat taraf.

Dan Rahayu lahir menambah kebahagian.

Berbanding Marni, Rahayu diberi segala macam kemudahan dan pendidikan. Di situlah titik tolak permulaan perseteruan mereka.

Rahayu melihat apa yang dilakukan oleh ibunya salah dan berdosa.

Marni, yang hanya tahu mencari wang tanpa ada pendidikan wajar, yakin usahanya itu tidak ada dosa selagi tidak membunuh atau merompak. Pemahaman yang dangkal, tapi lurus.

Keseluruhan buku ini saya rasakan agak menyakitkan hati membaca kisah hidup Marni. Usahanya senang saja dipintas orang yang licik mengambil kesempatan. Setelah satu, satu lagi datang mengganggu. Dan Marni akur dan mengadaptasi agar urusannya senang tak terganggu. Rahayu, yang sudah mula pandai berfikir tahu semua itu salah dan kebenciannya meluap-luap.

Jalan ceritanya ada. Tapi ada rasanya tempo penceritaan agak cepat dan seperti tergesa-gesa. Dipermudahkan, saya rasa. Ada pula bahagian yang saya tak tahu keperluannya, seperti pemergian Rahayu dan suaminya memperjuangkan hak penduduk kampung yang diusir. Perjuangan Rahayu yang mahu mendedahkan kemungkaran pihak tentera juga seperti tergantung. Kesudahannya begitu saja?

Nasib Koh Cahdi rakan Marni juga hilang begitu saja selepas tertangkap. Nasib anak luar nikah suaminya Teja juga entah ke mana hala. Apa jadi pada ibu Marni pada awal cerita?

Banyak cerita yang tidak habis.

Dan kalau mengharapkan happy ending, Entrok tidak ada pengakhiran begitu. Kalau mengharapkan mereka yang menindas, yang mengambil kesempatan terhadap Marni dan Rahayu, ditimpa balasan atau kesusahan; tidak ada.

Hanya Marni dan Rahayu yang melarat, sampai ke akhirnya.

Cuma, ada satu yang saya suka dengan Marni. Caranya ber"doa". Seperti ketika dia berdoa untuk Tonah orang gajinya. Kata Marni, kalau Tonah salah biarlah diselesaikan dengan baik, tapi kalau rezeki Tonah masih menjadi orang gajinya, dia terima saja.

Cantik.

#sharulmembaca
#malaysiamembaca
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Jejaka Buku.
115 reviews5 followers
August 14, 2023
"Apalah ertinya semua perjuangan terhadap penindasan dan ketidakadilan, kalau kebiadaban di depan kita sendiri saja tak mampu kita atasi." - Entrok, 155.

Entrok, sebuah novel bergenre realisme, mengisahkan Marni seorang ibu yang cekal dalam membesarkan anaknya di zaman yang penuh diskriminasi berkaitan sosial, politik dan agama. Tetapi jiwa muda anaknya bernama Rahayu mula mempersoalkan keringat ibunya yang bercanggah dengan apa Rahayu percayai. Namun, kasihnya Marni tidak pernah luntur demi kebaikan Rahayu.

Novel ini bermula pada waktu kini di mana Rahayu kembali semula kepada ibunya, Marni, dan ingin membalas jasa ibunya yang sedang sakit. Kemudian pembaca dibawa ke cerita latar ibunya dalam menjalani hidup yang penuh dugaan. Konflik yang diketengahkan oleh penulis merupakan konflik yang tidak akan lapuk seperti penindasan wanita, kekejaman kerajaan dan kebebasan beragama. Setiap satu konflik tersebut dapat menyerlahkan perwatakan Marni melalui monolognya mengkritik ketidakadilan tersebut sebagai seorang ibu yang begitu cekal apabila satu demi satu musibah menimpanya. Selain itu, penulis berjaya memainkan emosi pembaca hingga ke tahap peribadi apabila konflik sampingan Marni bersama Rahayu kian memuncak dan klimaks novel ini bakal membuatkan pembaca berasa pilu akan nasib mereka. Kekurangan ketara pada novel ini boleh dikatakan tiada, cuma mungkin pada tempo penceritaan yang agak perlahan bagi sesetengah pembaca. Tetapi boleh dikatakan hampir keseluruhan plot tidak mendatar kerana penulis bijak menyusun konflik yang bakal bermain dengan emosi pembaca. Antara perihal yang disentuh ialah emansipasi wanita terhadap ketidakadilan dan bahana fitnah terhadap kehidupan individu.

Secara kesuluruhannya, novel ini berjaya menggambarkan keazaman wanita dalam menongkah arus stereotaip yang mengatakan wanita itu lemah. Tambahan pula, kewujudan watak Marni dan Rahayu secara tak langsung mewakili suara-suara golongan wanita yang selama ini dipandang enteng. Tidak hairan jika sesetengah pembaca berasa teringin untuk memeluk ibu mereka setelah selesai pembacaan kerana novel ini bakal membuatkan pembaca lebih menghormati insan yang bergelar ibu.

4.5🌟/5🌟
Profile Image for Ivan.
79 reviews26 followers
December 14, 2012
Sebenarnya agak canggung membaca buku ini pertama kali. Betapa tidak, desain cover buku yang berupa ilustrasi punggung seorang wanita yang akan memasang BH berwarna hijau ditubuhnya itu membuat saya agak geli. Ditambah lagi setelah membuka cover plasik buku ini. Melihat daftar isi buku ini yang berbau magis seperti tuyul, dewandaru dan kembang setelon membuat saya agak risih juga pertamanya. Akan tetapi hal ini berubah total setelah aku membaca habis buku ini. Memang sih pada akhir ceritanya nggak banget dan nggak happy ending. Tapi menurutku ini buku yang membuka mata kita terhadap apa yang sebenarnya terjadi pada zaman Orde Baru dulu.

Memang aku kira buku ini membahas tentang seluk beluk kehidupan wanita. Tapi aku salah. Dalam novel ini diceritakan bagaimana perjuangan seorang ibu membesarkan anaknya. Bagaimana seorang ibu-- Marni yang bekerja banting tulang siang dan malam bekerja keras untuk dapat menyekolahkan anaknya sampai gelar Sarjana. Sarjana pertama di desa Singget, walaupun Rahayu-- anak satu-satunya Marni yang memang akhirnya harus merelakan gelar Insinyur pertanian UGM itu karena ada masalah yang menimpa Rahayu.

Konflik pertama yang diusung Okky dalam novel ini adalah pertentangan antara anak dan ibu. Rahayu yang sedang menyelesaikan sekolah SD-SMP nya, berpikiran logis dan diajar pelajaran Agama di sekolahnya. Berhadapan dengan seorang ibu- Marni yang buta huruf dan hanya mengerti menyembah leluhur.

Dia bilang aku ini dosa. Dia bilang aku ini sirik. Dia bilang aku ini penyembah leluhur. Lho.. lha wong aku sejak kecil diajari orangtuaku menyembah leluhur kok tidak boleh. Lha buktinya kan setiap aku minta ke leluhur, lewat tumpeng dan panggang yang harganya tak seberapa itu, semua yang kuminta kudapatkan. Dia bilang hanya Gusti Allah yang boleh disembah. Lha iya, tapi wong aku tahu Gusti Allah ya baru-baru ini saja. Lha gimana mau nyuwun kalau kenal saja belum.

Duh, Gusti Allah, kalau memang Kau maha mengetahui, Kau pasti tahu tak ada niatku untuk tak menyembahMu, untuk menjadi berbeda dibanding anakku dan orang-orang lain itu. Tapi bagaimana aku bisa menyembahMu kalau kita memang tidak pernah kenal?

Dalam novel ini Okky juga kadang menyisipkan pesan feminisme. Karena dalam tokoh Marni dan Teja -- orang tua Rahayu. Digambarkan sosok Marni yang begitu dominan dan menguasai keadaan. Dibandingkan engan Teja yang hanya menjadi penurut. Memang Teja-- Bapak Rahayu hanya seorang kuli angkut pasar. Marni pertama bertemu Teja di pasar Ngangget. Marni yang dulu sering menemani simboknya mengupas telo, ingin mendapatkan uang untuk mendapatkan Entrok--BH. Untuk itulah Marni bersikeras untuk nguli, membawa barang jajanan pasar milik priyayi yang biasa belanja di pasar itu untuk mendapatkan uang. Maklum, jika Marni hanya membantu simboknya mengupas telo maka setiap 100 telo yang dikupas Marni hanya diberi 1 telo. Beda dengan nguli yang upahnya pasti berbentuk uang.

Pekerja-pekerja itu duduk mengelilingiku sambil menuang teh dari cerek ke gelas. Aku berdiri di tengah mereka yang semuanya laki-laki. Dan aku sekarang akan mengupahi mereka. Simbok, lihatlah anakmu ini sekarang. Kita dulu kerja memeras keringat seharian, diupahi telo, bukan uang, hanya karena kita perempuan. Lihatlah sekarang, anakmu yang perempuan ini, berdiri tegak di sini mengupahi para laki-laki.

Sayangnya tidak ada buruh perempuan di sini, betapapun ingin aku mengupahi mereka dengan uang sebesar buruh laki-laki. Upah yang besarnya sama, tidak lebih kecil hanya karena dia perempuan, lebih-lebih hanya diupahi telo. Tapi tak ada perempuan yang ikut menebang tebu. Tebu hanya menjadi jatah buruh laki-laki. Bagian buruh perempuan hanya nderep atau mbetot kacang. Tapi coba tanya ke perempuan-perempuan itu berapa upah yang mereka dapat. Paling-paling tidak lebih daripada tiga ratus sehari. Sayangnya, aku tidak menanam padi atau kacang. Kalau rezekiku lancar dan aku punya duit untuk membeli tanah lagi, akan kutanami padi dan kacang. Akan kupekerjakan perempuan-perempuan itu dan kuberi upah tak kurang daripada yang diterima suami-suami mereka.

Seumur-umur aku mengumpulkan uang dengan keringatku sendiri. Kenapa aku masih harus bermasalah karena selankangan laki-laki? Ja, Teja... tak pernah aku melarangmu gendakan dengan kledek mana saja. Tapi kok teganya, sudah mati saja masih meninggalkan masalah. Kurang enak apa kowe selama hidup denganku? Kalau bukan karena aku, mungkin kowe masih menjadi kuli sampai mati. Jangan pernah bermimpi kledek kondang Endang Sulastri mau kamu tiduri.

Yang saya suka dari novel ini adalah, kita diberi informasi mengenai kejadian-kejadian pada Orde Baru yang dampaknya langsung dialami warga Desa. Bagaimana ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penyelewengan tentara terjadi didepan mata. Tanpa adanya keadilan bagi rakyat kecil.

Aku selalu mencoblos partai itu. Nomor dua, warna kuning. Tapi sebenarnya aku tidak pernah tahu apa itu partai dan apa yang mereka lakukan untukku. Yang jelas aku tahu ketika mau Pemilu pasti ada tarikan-tarikan duit yang katanya buat sumbangan partai. Lha kalau seperti itu ya mending tidak usah ada pemilu, tidak usah kampanye, wong malah merepotkan. Tapi ya pikiran seperti ini hanya kubatin saja. Tidak mungkin aku berani ngomong seperti itu ke Pak Lurah atau orang-orang. Kapok bikin masalah dengan orang-orang negara. Dengan mereka itu yang penting nurut saja, biar urusan beres. Sama seperti setoranku ke Komandan. Asal dikasih duit, urusan beres. Tidak ada orang yang berani mengganggu, paling hanya berani ngerasani di belakang.

Menyelesaikan baik-baik katanya. Aku tahu apa arti kalimat itu. Uang,uang dan uang! Ya, bertahun-tahun aku telah melihatnya. Mengalaminya. Mereka memang tukang peras.

Menyebut kata tentara ampuh membuat orang ini terdiam. Mereka memang orang-orang pengecut, yang sok kuasa di depan orang-orang seperti aku, tapi begitu penakut saat mendengar kata negara dan tentara. Semua masalah akan selesai kalau ada dua kekuatan itu dibelakangku.

Salut kepada Okky Mardasari.

Profile Image for Maddy.
106 reviews2 followers
March 1, 2024
Tidak pernah ada ceritanya setelah pemilu rezeki jadi lebih lancar. Tidak ada ceritanya setelah pemilu jalan makadam yang membuat ban sepeda dan sepeda motor cepat bocor ini dibikin halus seperti jalan di Madiun. Ya paling cuma begini begini saja. Kalau aku mau tambah hasil ya harus tambah meras keringat, tambah jauh berkeliling, tambah banyak tirakat. Jangan pernah mengharapkan orang-orang pemerintah menolong. Lha wong malah mereka yang minta dijatah.


Awalnya ngira novel ini bakal fokus membahas soal perempuan, tapi ternyata lebih dari itu. Buku ini membahas kondisi negara di era orde baru yang diperlihatkan melalui sudut pandang 3 perempuan dari generasi yang berbeda.

Aku suka gimana bukunya menunjukkan paralel antara kehidupan Marni dan Rahayu, kaya pas peristiwa suami mereka masing-masing meninggal. Pas bagian Rahayu ditahan, aku ngerasa bagian ini tuh penting banget buat menegaskan bahwa sekeras apa pun kita berusaha mengelak dari perbuatan zalim yang dilakukan oleh pemerintah terhadap diri kita, kita masih mungkin aja bisa melewati hal itu dengan mudah (seperti yang Marni lakuin dengan 'mbayar keamanan', 'nyumbang', etc.), tapi belum tentu keberuntungan yang sama bisa terjadi pada orang terdekat kita. Maka dari itu, penting bagi kita bersama untuk melawan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap setiap rakyatnya, sekecil apa pun perbuatannya.

Saranku kalo udah selesai baca bukunya sampe halaman terakhir, coba baca ulang lagi prolog-nya, dijamin makin ngena dan makin 'oh ini toh maksudnya'. Karena jujur aja pas pertama kali baca prolog aku agak hah-heh-hoh sih wkwkwk.

Bayangin segitu mudahnya pada masa itu buat seseorang dicap PKI hanya karena melakukan sesuatu yang dianggap melawan pemerintah (padahal ngga jelas juga dasarnya?!), status itu terpampang nyata di KTP sehingga kamu dikucilkan dari masyarakat, ngga bisa kerja, sulit buat menikah, bahkan bisa dipenjara, disiksa, atau parahnya dibunuh? How cruel is that?

Potret kondisi pemilu yang digambarin di buku ini sedikit banyak mengingatkan tentang betapa tidak terlalu berbedanya kondisi itu dengan kondisi nyata di masa kini.
Profile Image for b'.
19 reviews2 followers
January 6, 2023
this book was totally crazy. there's no breath chance to rest even for a while. From one chapter to another was built a huge of anger hole on my chest. I thought Marni and Rahayu will get their best life at the end, but IT WAS A DREAM!!! I'm so sick of military people and all the government ruler. God, they deserved better 😭
Displaying 1 - 30 of 928 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.