Jump to ratings and reviews
Rate this book
Rate this book
Pembaca tersayang,

Kehangatan Melbourne membawa siapa pun untuk bahagia. Winna Efendi menceritakan potongan cerita cinta dari Benua Australia, semanis karya-karya sebelumnya: Ai, Refrain, Unforgettable, Remember When, dan Truth or Dare.

Seperti kali ini, Winna menulis tentang masa lalu, jatuh cinta, dan kehilangan.

Max dan Laura dulu pernah saling jatuh cinta, bertemu lagi dalam satu celah waktu. Cerita Max dan Laura pun bergulir di sebuah bar terpencil di daerah West Melbourne. Keduanya bertanya-tanya tentang perasaan satu sama lain. Bermain-main dengan keputusan, kenangan, dan kesempatan. Mempertaruhkan hati di atas harapan yang sebenarnya kurang pasti.

Setiap tempat punya cerita.

Dan bersama surat ini, kami kirimkan cerita dari Melbourne bersama pilihan lagu-lagu kenangan Max dan Laura.

Enjoy the journey,

EDITOR

340 pages, Paperback

First published June 1, 2013

138 people are currently reading
2078 people want to read

About the author

Winna Efendi

18 books1,966 followers
A woman with passion in both reading and writing and has written a few books in both English and Indonesian. Used to work as a freelance reporter for an in-house magazine and a fashion journalist/contributor in http://www.fasity.com, an Indonesian fashion community.

Some fictions have been published online and in a number of magazines. Her published novels are: Kenangan Abu-Abu (February 2008), Ai (February 2009), Refrain (September 2009), Glam Girls Unbelievable (December 2009), Remember When (March 2011), Unforgettable (January 2012), Truth or Dare (Gagas Duet May 2012), Melbourne: Rewind (2013), SCHOOL Tomodachi (2014), Happily Ever After (2014), Girl Meets Boy (2015). Winna's non-fiction book is Draf 1: Taktik Menulis Fiksi Pertamamu (September 2012). She has also participated in an anthology book about traveling - The Journeys (March 2011).

Currently writing numerous short stories collection and novels.

She enjoys curling up with a good book, with the radio turned on and a cup of tea :)

Winna can be reached via email at winna.efendi@gmail.com or her official blog http://winna-efendi.blogspot.com and Twitter/FB: @WinnaEfendi or fanbase @Winnadict

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
838 (30%)
4 stars
943 (34%)
3 stars
729 (26%)
2 stars
166 (6%)
1 star
55 (2%)
Displaying 1 - 30 of 321 reviews
Profile Image for Christian.
Author 32 books840 followers
May 27, 2013
i miss winna's writing. there, i say it. tulisan winna itu seperti marshmallow yang gue biarkan meleleh di mulut, menyebarkan rasa manis yang lembut setelahnya. that's why, waktu proyek STPC dimulai, winna adalah salah satu nama penulis yang langsung muncul di kepala.

dan gue nggak salah.

gue berharap nggak terdengar bias saat menuliskan reviu ini, tapi membaca 'melbourne' adalah pengalaman yang menyenangkan. tema ketemu mantan itu, dih, basi banget--kalo kata penulis baru yang sering gue temui saat acara menulis kreatif. tapi, winna menuliskannya dengan cara baru yang, personally, bikin darah penulis dalam diri gue berdesir iri. i wish i could think that kind of writing.... *yeah, mimpi aja ngana!*

winna tahu betul bahan apa yang harus dia masukkan di dalam resep 'melbourne' ini. kalo kita bicara soal mantan, kenangan itu sesuatu yang otomatis muncul kan? winna melakukan itu, nggak sekadar membuat flashback-flashback seperti yang lain, dia menjahitkannya di plot maju. which is tricky dan nggak banyak yang bisa melakukannya.

gue nggak akan bicara lebih banyak lagi. 'melbourne' is a perfection and i'm the lucky one who read it first.

Profile Image for Icha.
34 reviews10 followers
April 25, 2016
Di awal novel dan beberapa chapter selanjutnya, Winna menyelipkan beberapa adegan flashback. Mungkin cuma aku aja yang mengalami ini, but my God... adegan-adegan flashback itu bikin aku pusing dan bingung. Aku sering banget kesulitan membedakan mana yang harusnya flashback, mana yang bukan. Malah terkadang aku mikir, ”Um...ini harusnya flashback atau bukan? Perasaan tadi lagi adegan−asdfghjkl” . Tapi sebagian besar adegan flashback yang bikin aku pusing cuma yang di awal, yang menjelang akhir nggak terlalu :D

Untuk POV, aku berpendapat harusnya Winna sekalian hajar aja (?). Max dideskripsikan sebagai karakter yang menggunakan lo-gue, sementara Laura menggunakan aku-kamu. Jadi, kenapa ga sekalian aja di POV Max, Winna menggunakan bahasa gaul/slang/sehari-hari, kayak “ngeliatin, kedengeran, kayak, ngedengerin, udah” dll. Kalo gitu kan jadinya kita bisa tau perbedaan antara Max dan Laura. Menurutku, di novel ini jadinya susah membedakan gaya bicara Max dan Laura. Okelah, Max menggunakan lo-gue, tapi selebihnya di dalam kepalanya, dia memakai lo-gue dan bahasa baku. Aneh aja jadinya, lo-gue tapi selebihnya baku sebagian besar. Lalu, POV Laura. Ini kayaknya memang cuma aku aja yang mengalami masalah ini, tapi POV Laura bikin pusing. Saat Laura ngomong, dia memakai lo-gue, tapi di dalam kepalanya dia memakai aku-kamu dan bahasa baku. Apa iya ada orang yang begitu? Ngomong bahasa gaul, tapi di dalam kepalanya memakai aku-kamu dan bahasa baku. Idk, mungkin ada.

Soal penjelasan Max kalo dia nggak jatuh cinta pada pandangan pertama... AHEM. IMHO, techincally, it is. Maksudku, Max bilang kalo dia jatuh cinta di pertemuan kedua, kan? It’s lust, sweetie, not true love. Gimana bisa kita jatuh cinta kalo baru dua kali ketemu? More like, naksir. Mungkin karena tampang, sikapnya baik dan ramah, atau dia ditolong apalah. Tapi jatuh cinta? Pada pertemuan kedua? *uhuk* Bella-Edward dan Tris-Four *uhuk* . Seandainya Max jatuh cinta setelah dua, tiga minggu kemudian (atau lebih), yeah, it’d make sense. A bit. But NO...pertemuan kedua, guys. I was like,”Oh, God...not this kind of story again... ;__;” But then I was like, ”Fudge it. Ini kan Winna. Sesuatu yang biasa bisa jadi manis. YOLO~ (?)” dan aku melanjutkan membaca.

Tbh Max itu sebenernya cowok yang manis. You know, bagaimana dia sebenernya masih mencintai Laura tapi kayaknya nggak disambut. Tapi entah kenapa mereka nggak punya chemistry. Aku ngerasa nggak ada yang bikin greget, their relationship doesn’t scream, ”OH MY GOD JUST GET BACK TOGETHER AND KISS ALREADY! YOU STILL LOVE EACH OTHER!” Aku malah lebih suka Laura sama Evan. Saat aku membaca paragraf/chapter yang memuat interaksi antara mereka berdua, I was like,”Ooh yeah I ship you guys!” Tapi, Winna menunjukkan dengan jelas bahwa dia nggak akan membuat Evan menjadi tipe cowok yang nggak setia. Selain itu, Winna juga membuat adegan-adegan yang sebenarnya manis antara Laura dan Max... tapi entah kenapa rasanya biasa aja. Or maybe it’s just me.

Endingnya. That ending. Oh my God... Seingatku, novel-novel Winna memang biasanya diakhiri dengan adegan-adegan seperti ini, berupa deskripsi yang terkadang bisa memberi gambaran apa yang terjadi, kadang tidak. Mungkin Winna pengen memberi kebebasan untuk para pembaca untuk membayangkan ending yang mungkin terjadi, tapi...idk, menurutku ditangani kurang dengan baik. Rasanya malah jadi gantung. Ugh.

Seperti biasa, entah dimulai dari halaman berapa, aku terhanyut dalam tulisan Winna. Aku nggak konsentrasi lagi apa yang mau aku komentari atau pertanyakan. Aku terbawa dengan cerita antara Cee-Laura-Evan-Max. Itulah yang membuatku selalu ingin membaca tulisan-tulisannya Winna. Cerita yang sebenarnya mungkin biasa, klise, atau standar, bisa menjadi sesuatu yang bagus dan manis. Ini salah satunya, hanya saja, ending nya kurang memuaskan bagiku. And yeah, aku masih lebih suka Evan-Laura daripada Max-Laura. Jadi, meski ada masalah/kekurangan kebetulan-kebetulan dan flashback, menurutku novel ini lumayan lah, tapi aku masih lebih suka Remember When :3
Profile Image for Nilam Suri.
Author 2 books141 followers
June 17, 2013
This is a book, by Winna, so it means, this book would never be bad. Winna is one of my favorite author, aside from Nina Ardianti (ini ditulis dengan tulus ikhlas, tanpa paksaan atau pun todongan penulisnya) and Windry Ramadhina. Saya selalu menyukai buku-buku Winna, selalu, tidak pernah tidak. Dan lalu, bagaimana dengan buku terakhirnya ini?

Sejak kalimat pertama pun, saya sudah jatuh hati pada buku ini, dan saya pun lantas jatuh hati pada Max, seorang laki-laki pemuja cahaya, dan lalu saya pun mulai terserap pada alunan musik dari lagu-lagu milik Laura, terserap pada pilihan lagu-lagunya yang memiliki lirik tidak biasa. Semuanya terasa manis, tenang, dan sekaligus muram, just exactly my right kind of book. Membaca buku Winna yang ini membuat saya seolah-olah sedang bergelung dalam mendung, jika kalian paham maksud saya. Saya sangat menyukai nuansa kelabu yang membalut buku ini.

Halaman demi halaman saya baca, ikut terpusar dalam kilas balik cerita Max dan Laura, tentang dua orang yang sudah menemukan belahan jiwa mereka, tapi lantas harus melepaskannya... Saya sangat memahami perasaan mereka. Tentang bagaimana ketika kamu pernah bersama yang kamu pikir sebagai yang terbaik, bersama seseorang yang membuatmu berbikir "he's the one", tapi lantas harus menerima kenyataan bahwa takdir mempermainkan kalian, dan semua itu hanya untuk sementara.

Semua itu selalu mendatangkan pertanyaan yang sama pada saya. Manakah yang lebih baik, pernah memiliki seseorang yang kamu tahu adalah belahan jiwamu, seseorang yang tepat, seseorang yang membuatmu berpikir "teristimewa" tapi lantas harus kehilangan dia, dengan semua perasaan luar biasa yang lantas berubah menjadi hanya kenangan, atau, tidak pernah memilikinya sama sekali. Tidak pernah tahu betapa istimewanya perasaan itu, sehingga untuk terus menjalani hidupmu yang kemudian biasa-biasa saja menjadi lebih mudah. Apakah ignorance would always be a bliss?

Saya terus larut dalam cerita, tapi lalu.....saya mulai merasakan suatu bentuk ketidaksukaan terhadap Laura. Memang, orang bilang everything is fair in love and war, but sometimes, tetap saja ada satu hal yang terlalu sakral, terlalu bersih, terlalu luar biasa untuk dikorbankan, bahkan atas nama cinta sekalipun. Dan buat saya, hal itu adalah persahabatan.

Saya adalah orang yang cukup beruntung karena diberkahi dengan sahabat-sahabat luar biasa dalam hidup saya. Seseorang yang saya kenal belasan atau tahunan yang lalu, namun saya tahu mereka akan selamanya ada di hidup saya. Orang-orang yang akan selalu menyediakan bahunya untuk saya, yang akan selalu mendengarkan saya, dan bahkan yang akan selalu menyampaikan hal-hal yang menyakitkan, namun benar, kepada saya, hanya untuk menjaga saya agar selalu berada di jalur yang benar. Dan bagi saya, orang-orang itu akan selalu menjadi di atas segalanya, termasuk di atas suatu bentuk ketertarikan, betapapun besarnya, atau betapapun terasa indahnya, dan bahkan di atas sesuatu yang mungkin saat itu bisa disebut cinta, jika ternyata cinta itu berarti mengambil sesuatu yang menjadi milik mereka.

Jadi buat saya, apa yang dirasakan oleh Laura tidak akan pernah benar.

Perasaan Laura untuk lelaki kedua itu membuat saya menganggapnya sebagai seorang drama queen, seseorang yang terlalu sibuk bergelimang dalam drama dan ketakutannya sendiri, yang membuat alasan-alasan konyol bahwa dia tidak layak bahagia, dan lantas memendam perasaan terhadap laki-laki lain yang tidak pernah menjadi haknya. Dalam hal ini, saya sangat setuju dengan Max. Tidak pernah ada alasan yang tepat untuk jatuh cinta pada laki-laki yang menjadi miliki sahabatmu, tidak pernah.

Tapi. untungnya, Winna tetap menjaga Laura di jalurnya, tidak sampai melenceng terlalu jauh, walaupun dia sudah kehilangan simpati saya. Dan saya rasanya ingin memeluk Max, hanya karena dia berani untuk terus selalu berada di sana.

Dan untuk semua hal yang ditulisnya, yang telah berhasil membuat perasaan saya campur aduk dan emosional hanya untuk sepenggal cerita, Winna sekali lagi berhasil membuat saya benar-benar mengerti, kenapa dia adalah penulis favorit saya.

Bravo.
Profile Image for Rayna Marchyiane.
7 reviews6 followers
June 30, 2013
Pertama kali liat cover gagas feat bukune yang ini nggak se-tertarik dengan cover setiap tempat punya cerita lainnya(barcelona&manhattan). Akan tetapi karena terarik dengan melbourne, saya memutuskan untuk membawa buku ini ke kasir.

Saat malam tiba, saya langsung bersemangat untuk memulai membaca buku ini. Setelah saya baca, jujur aja saya suka dengan 2 cara sang pembaca menceritakan berdasarkan 2 sudut pandang dari ke-2 peran utama dalam buku ini. Akan tetapi entah mengapa saya agak bosan ketika membaca novel ini. Mungkin memang cerita ini bukan saya banget, karena biasanya saya cenderung menyukai cerita romantis, walau tentunya karakter utama (Max) juga lumayan romantis..

Mengapa saya bosan?menurut saya karena cerita dalam novel ini tidak se-romantis cerita mbak Winna yang sebelumnya(refrain yang masih menjadi favorite saya hingga sekarang). Akan tetapi saya yakin, tiap orang mempunyai selera yang berbeda-beda.

Cerita ini mengenai kisah romansa sepasang manusia yang bernama Max&Laura. Mereka berdua telah putus selama 6 tahun dan kemudian bertemu kembali dan melakukan rutinitas seperti tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi kemudian ternyata salah satu dari mereka masih mempunyai rasa seperti dulu, sedangkan yang satunya lagi jatuh cinta kepada orang lain. Endingnya? Coba beli&baca sendiri ya:)

Akan tetapi ada beberapa hal yang saya sukai di buku ini:
1) saya sangattttt suka dengan cerita masa kecil Max yang ter-obsesi dengan cahaya. Usaha Max yang(walaupun ragu) tetapi akhirnya menempuh kesuksesan.
2) perbedaan pandangan dengan Laura. Max yang sudah menempuh kesuksesan klimaks dan Laura yang masih belum menemukan jati dirinya. Perbedaan ini yang menyebabkan konflik&membuat kita mengerti tentang perbedaan, apakah cinta ke-dua orang tersebut cukup kuat untuk mengalahkan perbedaan tersebut?
3) saya suka ketika Mbak Winna bisa membuat saya mellow karena terbawa pada saat alur mundur, dan dapat dengan suksesnya membawa kita kembali ke alur maju. Disini Mbak Winna sukses membuat saya ter kagum-kagum dengan karakter Laura(yang pada awalnya saya sebal).

Kekurangannya, selain agak membuat jenuh, endingnya SANGAT SANGAT SANGATTTTTT tidak membuat saya puas sama sekali(bukan sad ending, kok!).

Jadi, menurut saya jika anda penggemar novel yang tidak roman-picisan&unyu-unyu, saya yakin anda akan menyukai novel ini:).
Profile Image for Manik Sukoco.
251 reviews28 followers
December 30, 2015
It is beautifully written. A story about two people loving each other in a complicated way. It shows that most of the time, love isn't enough. You love, but you'll find thousand obstacles getting in your way, and all that's left is your choice or his choice.

I like Max. From the moment I start reading, it's clear that he's the one in love with Laura, and no doubt he wants her back.

On the other hand, Laura, I didn't know what she might do even if she's also in love with Max. Most of the time, she counts on her logic. She's the mystery. And even if I know they both are gonna be together eventually, it's a pleasure to be in their journey on finding the love they both already have.

At least, we need to be with the right person to feel some kind of feelings and those kind of feelings don’t show with just anyone. It has to be with the right person.
Profile Image for Gita Romadhona.
Author 9 books35 followers
June 3, 2013
Seperti biasa, Winna selalu manis dalam bertutur. Dan, entah bagaimana dia melakukan riset, deskripsi dan setting dalam cerita ini nggak sekadar nempel, tetapi menyatu dengan cerita. Keren!

Namun, setelah lima tahun bersama Winna, saya tampaknya butuh "sesuatu" yang baru dari Winna. Menurut saya, Winna harus berhenti bercerita tentang "sahabat yang jatuh cinta pada sahabat sendiri" :D-- meski, winna selalu berhasil juga, sih membawa tema ini.

Intinya, tidak sabar menunggu buku baru-nya Winna :)
Profile Image for Elisa Yuliana.
40 reviews5 followers
June 9, 2013
Selama membaca ini kesannya itu : hangat dan menghanyutkan. Mbak winna memaparkannya dengan perlahan tapi mengena, sampe aku berhenti bbrp saat hanya karna gak rela novel ini akan berakhir.
Inspirate bgt. Realistis, simple but precious. I'm totally adore you winna :))
Profile Image for Mia Prasetya.
403 reviews268 followers
July 14, 2013
Terus terang, tahun 2013 merupakan tahun suram dalam dunia perbukuan saya, membaca buku apa saja rasanya kurang pas, apalagi mau ngeblog. Untungnya saya tidak salah pilih ketika membeli buku terbaru Winna, Melbourne berhasil dilalap dalam sekali duduk. Ah, betapa senangnya kembali merasakan kenikmatan membaca.

Melbourne. Rupanya Winna cukup berhasil mengambil setting kota yang dianugerahi ‘the world’s liveable city’, sehingga Melbourne menjadi salah satu kota impian yang ingin saya kunjungi.

Rumus Winna masih sama, berurusan dengan cinta pasangan dewasa muda, sedikit muram, sendu dan melankolis, apalagi ada soundtrack keren dan potongan lirik puitis yang mengiringi kisah Max dan Laura di sepanjang bab. A song tells the story of your life, there’s always a personal history attached to it.

Dibuka dengan adegan Max Prasetya *hey nama keluarga kita sama, Max* *ga penting kali ditulis, Mi* kembali ke kota di mana Laura berada, sang mantan pacar. Lima tahun sudah mereka berpisah, lima tahun sudah kisah mereka terkubur tanpa ada penyelesaian, dan kini bersama dengan sekelumit alunan musik, kita pembaca ikut larut untuk mengetahui apa yang salah dengan Max dan Laura, where did their love go?

What about some coffe?

Kalimat pembuka dari Max setelah mereka bertemu kembali, yang juga diucapkan saat awal mereka berkencan. Prudence, kafe favorit mereka bertahun silam, tempat mereka menghabiskan waktu berjam-jam talking about everything and nothing.

Saya seakan menjadi saksi hidup perjalanan Max – Laura, aduh lebay bener ini sik bahasanya, tapi saya tidak menemukan padanan yang pas, ah, atau begini, di saat Laura duduk dengan kaki terlipat sambil menyesap kopi marsmellow dengan Max yang tak henti memandang Laura, bayangkan saya duduk di pojok, ikut mendengarkan pembicaraan mereka. Ya, saya bisa membayangkan adegan itu dan percakapan nostalgia mereka lengkap dengan alunan John Mayer terekam di kepala saya. Good job, Winna!

Dan seperti pertanyaan klise pada umumnya, bisakah mantan yang menorehkan sekian banyak kenangan hanya menjadi teman biasa saja?

Laura bisa saja bilang, ” So, we’re friends now”. Rex, teman dekat Max mengagetkan Max dengan berkata, “Nggak ada yang namanya mantan deket terus balikan lagi, atau cowok dan cewek temenan tanpa rasa, atau seks. It’s biologically impossible. Human beings are just not built with that kind of sensibility, or resistance“.

Is it?

Ihiy, baca sendiri dong ya untuk membuktikan teori Max. Terlebih lagi kisah menjadi semakin rumit dengan hadirnya Evan, calon suami sahabat dekat Laura, yang ternyata memiliki selera musik yang sama dengan Laura.

Walau klimaks Melbourne saya rasa kurang menggigit, terasa sedikit terburu-buru di akhir dan saya lumayan gemes dengan tokoh Laura yang menurut saya sedikit ingin menang sendiri “don’t we all?* Ga akan rugi kok baca Melbourne, selain kita mau tak mau akan mencari daftar lagu yang dibuat penulis (terbukti dengan saya, yang sebelumnya mengalami hal serupa saat membaca Blue Romance), tulisan Winna ini adiktif! Tidak akan berhenti sebelum selesai. I love Maaax!! Dan ucapan Max saat mengajak Laura pacaran walau simpel sangat realistis dan romantis di saat yang bersamaan :’)

4 bintang untuk Max – Laura dan playlist pilihan Winna.

Kembali ke novel, proyek Gagas Setiap Tempat Punya Cerita saya akui keren! Selain tematik, kaver layak koleksi, terlebih lagi saya sudah bosan dengan kaver Gagas yang oke punya namun belakangan ini kaver serupa bertebaran di mana-mana. Monoton. Berbekal warna mencolok dan penulis-penulis pentolan membuat saya tergiur untuk membeli serinya yang lain. Menabung untuk membeli buku dan mari bekerja lebih giat untuk berlibur ke kota-kota lain. Roma, Paris, Bangkok, London. Yuk ah!
Profile Image for Elly.
7 reviews
June 12, 2013
Buku ini bagus. Ide ceritanya nggak gitu common. Bukannya menceritakan dengan rinci bagaimana pertemuan seseorang sampai jatuh cinta lalu pacaran, buku ini menceritakan tentang dua orang yang pernah punya sejarah bersama, dan setelah bertahun-tahun tidak bersua, mereka akhirnya bertemu kembali di kota itu, Melbourne.

Gaya menulisnya indah dan mengalir. Suka banget sama pilihan kata-katanya Winna Efendi. Suasana Melbourne yang digambarkan juga terasa kental.

Covernya sederhana, kertasnya bagus. Kualitas Gagas Media.

Poin minus menurut saya mungkin adalah bagaimana saya tidak merasa debaran buat Max dan Laura. Saya tidak menangkap chemistry mereka berdua. Mereka memang pernah punya sejarah, tapi itu dulu, dan saya kasihan sama Max yang mati-matian masih sayang sama Laura, padahal Laura sendiri begitu dingin menyikapinya. Endingnya juga nggak bikin saya puas, rasanya seperti masih ada masalah yang belum terselesaikan. Laura tiba-tiba muncul di sana, Max diam saja, dan rutinitas mereka kembali berjalan. Membaca buku ini seperti berusaha menangkap angin; hampa. Saya nggak tahu harus merasakan apa.

Tapi, yah, meskipun feeling nya nggak sedapet buku-buku Winna Efendi yang lain seperti Ai dan Remember When, buku ini juga indah. Hanya saja, bukan karya yang bisa buat saya menjerit untuk merekomendasikan ke orang-orang lain.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for ekarifin.
197 reviews2 followers
February 2, 2015


What A Day...
Hari Minggu, turun hujan, sendirian di rumah dan hanya ditemani kisah Laura dan Max...

Hmm... seperti halnya Refrain, Melbourne ini ceritanya juga bisa dikategorikan sederhana, Laura dengan pencarian mimpinya sedangkan Max yang sibuk bergelut dengan mimpinya. Yang entah bagaimana perbedaan itu justru menciptakan jurang untuk mereka berdua, Laura yang tidak ingin menjadi penghalang mimpi Max sementara Max ingin Laura menjadi bagian dari mimpinya tersebut, hanya saja seorang Laura dengan pendiriannya, tidak ingin menjadi hanya sekedar pengekor Max dan mimpinya walaupun saat itu dia masih belum menemukan apa yang menjadi mimpinya.

Namun akhirnya, justru dengan perpisahan itu, ketika Max sibuk menikmati 'cahaya'-nya, sementara akhirnya Laura pun menemukan 'musik' hidupnya. Sampai akhirnya mereka bertemu kembali. Well, jodoh itu emang nggak kemana sih ya.

Oh ya, di akhir cerita soundtracknya adalah Love Song - The Cure. Haha... saya baru tahu kalo Love Song original band yang bawain adalah The Cure. Dulu waktu ngeband, justru ngebawain versi band reggae 311... hihihi...

e
Profile Image for Shafira Indika.
303 reviews233 followers
June 24, 2023
Selama baca novelnya, i always think that laura and max are meant for each other. Udah jelas sebenernya mereka masih sama-sama memendam perasaan. Aku menikmati interaksi merek, aku suka sama Max yang sweet dan selalu berusaha ada buat Laura.

But when i read the ending i think they're still suck at communicating with each other... karena kenapa diem-dieman begitu hey

Selain itu aku juga ga merasa ada character development antara Max dan Laura, jadi bukan tidak mungkin mereka akan ribut lagi hehehe. Yang aku liat hanyalah si Laura mulai menyadari bahwa dia ga bisa 'lepas' dari Max begitu aja.

3.8/5; aku suka cara penulis menggambarkan kota Melbourne, aku suka reference lagu-lagunya, interaksi tiap tokohnya juga aku suka. Konflik antara Max dan Laura di masa lalu (yang bikin mereka putus) juga menurutku make sense walaupun kata-kata Max pas mereka berantem tuh gak banget...

Full review nanti di ig aja yah hehe
Profile Image for Anastasia Cynthia.
286 reviews
July 12, 2013
Sebelumnya, ingin berterima kasih dulu kepada para adik yang sudah mengusulkan gue untuk membaca Melbourne, well... setelah sebelumnya gue bertanya cukup banyak mengenai ini itu lantaran gak mau rugi untuk entah keberapa kalinya dalam membeli buku Gagasmedia. Tapi, voila, kali ini gue seolah menemukan another Dahlian (penulis favorit gue di Gagasmedia) dalam bentuk serian STPC.

Melbourne agaknya mempersoalkan tiga kata; I, love, dan you yang telah lama bersarang di kedua hati tokohnya, Laura dan Max. Tanpa sadar keduanya yang dulu telah berpisah, kini kembali berayom di atas dataran yang sama, Melbourne. Max yang blak-blakan kembali dari tugas kerjanya di Sydney. Luntang-lantung di Melbourne, berharap mendapat pekerjaan baru. Namun, di saat pertama kali ia melandaskan kaki di kota metropolis itu, Max malah teringat akan kekasihnya di masa kuliahnya dulu. Laura, yang dulunya menggandrungi deretan playlist pelik, sekarang bekerja sebagai seorang penyiar radio. Lantas, bagaimana pertemuan kedua mereka setelah lama terpisah dalam jarak puluhan mil? Dan apakah tiga kata itu masih menunggu untuk kembali terucap dari bibir yang sama?


------------------------

Pertama kali gue memutuskan beli "Melbourne" mungkin lantaran gue tidak bisa menemukan "Bangkok" di Gramedia Istana Plaza. Ada banyak pertimbangan yang gue lakukan, kendati dulu gue adalah satu mengagum tulisan-tulisan Winna Efendi; buku pertama yang gue beli adalah "Ai", setelah itu temen gue menghadiahkan "Refrain" sebagai kado ulang tahun. Tapi, sepertinya gue percaya akan keberuntungan, gue beli "Melbourne" di saat yang sangat tepat, setelah gue menyelesaikan sebuah buku dengan konflik yang amat berat. Gue percaya, mainstream romance mungkin bisa menjadi light reading di tengah deretan buku tebal yang harus gue rampungkan dengan segera.

Tulisan Winna Efendi yang gue ingat adalah gaya penulisan yang rapi. Anggun dari sisi diksi tapi tidak mengandung banyak metafora. Seperti yang digunakannya menulis Ai dulu. Tapi, gue cukup bosan dengan idenya yang hanya melibatkan perasaan saling suka yang terpendam antar dua orang sahabat.

Berbeda dengan "Melbourne", ada sejuta hal-hal fresh yang bisa ditunjukkan Wina dari gaya bahasanya. Terutama dengan sudut pandang orang pertama yang ia pilih; yang menggilir setiap tokohnya untuk mencetuskan opini masing-masing. Jujur, awalnya gue lebih memilih teknik penulisannya yang lagi-lagi menggunakan "aku" pada bagian Laura, ketimbang "gue" pada Max. Tapi, lama kelamaan gue merasa lebih hanyut dalam bagian Max. Entah kenapa, kosa-katanya begitu ringan. Bercampur dengan beberapa kalimat berbahasa Inggris, tapi sama sekali tidak mengganggu gue, malah memperkuat kesan kultur barat yang memang berbicara apa adanya dan blak-blakan. Tidak banyak basa-basi, tapi dari narasi-narasi lugas tersebut, gue bisa menikmati bagaimana kisah Max dan Laura yang sesungguhnya mainstream pada kehidupan nyata, tapi terasa berbeda saat dikemas menjadi sebuah buku.

Gue amat mengagumi karakter Max dari segi latar belakang pekerjaannya. Light designer seems so rare for being use in a book. Arsitek? Interior desain? Editor? Sepertinya kebanyakan novel-novel chiclit ataupun mainstream romance terlalu sering menggunakannya sebagai pekerjaan seorang tokoh. Tapi, light designer? Gue menganggap itu sebuah hal yang sesungguhnya sepele. Siapa sih yang mikir kalau konser perlu pencahayaan yang tepat? Kadang kita sebagai penonton lebih mementingkan artisnya ketimbang latar panggungnya, tapi gak disangka, dalam "Melbourne", Winna mendorbak paradigma tersebut. Max dan light obsession-nya malah terasa cool saat dibaca.

Dan Laura, well, well, well... entah deh, gue gak bisa berkata tentang karakter ini, mungkin selera musik kita sama? Seandainya gue bertemu seseorang seperti Laura, kayaknya gue bisa nongkrong di Starbucks seharian buat membahas musik perdekade. Terbukti juga dengan kehadiran bocoran playlistnya di beberapa halaman, yang sempat menambah koleksi lagu indie gue :D thanks a lot. Oya, gue rasa ada sedikit kesalahan nih dalam narasi Max yang menceritakan Laura tentang dirinya yang suka sekali dengan lagu "Someday We'll Know". Di situ Wina menuliskannya bahwa "Someday We'll Know" adalah soundtrack dari film "A Moment To Remember", um, mungkin yang benar "A Walk To Remember". Film favorit gue juga sih. Dan juga adaptasi dari buku Nicholas Sparks, di sana tembangnya dinyanyikan ulang oleh Mandy Moore, yang sekaligus bintang di film tersebut.

Sebagai penutup, gue gak punya aduan atau saran. Cuma mungkin berharap kalau Winna akan menulis novel selanjutnya dengan style yang mirip dengan gaya penulisan di novel ini. Simpel tapi nampak menarik. Tidak bertele-tele. Dan lebih tepatnya, mirip dengan kepenulisan chiclit. Walaupun bukunya dibagi atas empat bagian; rewind, pause, play, dan fast-forward. Tapi, hal itu sama sekali tidak memenngaruhi kesan cerita yang manis dan mendalam. Ending-nya pun, favorit gue, memang agak mengecewakan jika bagi sebagian orang yang senang dengan ending yang terdeskripsi dengan gamblang. Tapi, apa salahnya jika penutup sebuah buku dibuat dengan dibumbui imajinasi liar tiap pembacanya?

I think it would be nice.


PS. Why do I put four stars there instead of five?
Jawabannya: Maybe, mainstream romance is not my cup of tea. Empat bintang (mungkin bisa dianggap lima, kalau seandainya genre-nya bukan ini, hehe :D) adalah untuk gaya kepenulisan Winna. I heart it.
Profile Image for R.A.Y.
292 reviews47 followers
December 4, 2013
Yes, it was amazing. Jadi, saya baru saja ngefans sama Kak Winna dan tergila-gila sama gaya berceritanya yang apik dan bisa menyesuaikan suasana cerita. Lalu, terbitlah buku ini. Saya tunggu sejak awal keluarnya kabar sliwar-sliwer tentang Kak Winna yang ikut STPC. Saya sabar menanti uang berdatangan *OKE INI CURHAT* dan kesempatan ke toko buku buat beli buku ini. Dan yeah, gak nyesel. Lima bintang. Amazing. Memuaskan!

Banyak yang mengeluhkan cerita novel ini yang klise tentang balik ke mantan. Saya malah pengin mengetuk-ngetuk dahi mereka dan bilang, "Helooo... apanya dari romance sih yang gak klise???" Klise gak klise itu udah bukan dilihat dari idenya ya jaman sekarang, tapi dari cara penulis menuturkan cerita. Dan di tangan Kak Winna, keklisean itu berhasil dilempar home run sampai keluar stadion. Kemudian tepuk tangan para pembaca penggemarnya bergemuruh. *mohon jangan bayangkan Kak Winna trus lari-lari keliling lapangan udah kayak main bisbol beneran*

Saya mempelajari gaya bercerita Kak Winna di sini. Rapi, detail, pas porsi, dan benar-benar menyatu dengan cerita. Rasanya kayak kita lagi nggak berwisata ke Melbourne (well, FYI, sebagian penulis lokal yang memilih luar negeri sebagai latar tempat masih ada yang menjelaskan latar dengan gaya pembaca-adalah-turis-dan-saya-adalah-tour-guide, bahkan di STPC ada yang seperti itu (buat saya)), tapi benar-benar ada di sana buat mengikuti kisah Max dan Laura. Gaya bercerita seperti itu yang sampai sekarang paling bikin saya iri. Bagaimana caranya agar bisa menulis sebagus itu? Tell me how, Kak Winna... Hiks #okeabaikansaja

Buat saya, narasinya tidak bisa dibilang ringan karena ada banyak hal yang bisa jadi bahan renungan yang berarti agak berat karena bikin mikir, bahkan pas di dialog juga. Tapi ini poin bagus yang lain, karena rasanya Max dan Laura benar-benar membeberkan isi pikiran dan hati mereka, gak sekadar berbagi cerita masa lalu dan kegalauan pada pembaca.

Tentang maju-mundurnya cerita, Kak Winna melakukannya dengan baik dan rapi. Saya gak terganggu, dan saya penasaran sekali bagaimana bisa menulis flashback serapi itu. Hiks, Kak Winna, I envy you damn much T.T

Yah, intinya, Melbourne ini bener-bener ajang belajar buat saya. Saya harap suatu saat nanti saya bisa benar-benar menerapkan apa yang saya dapat dari menjadi pembaca dan penggemar Kak Winna. Ditunggu nih novel selanjutnya, Kak! Dan izinkanlah aku menjadi muridmu, Guru!
#abaikan

Ohiya, endingnya kece kok! Saya suka! (>.<)b
Profile Image for Nina Ardianti.
Author 10 books400 followers
June 25, 2013
Saya percaya bahwa penulis membawa karakter dirinya dalam setiap karya yang ia tulis. Well, nggak usah ngomongin penulis deh—tweet kita pun mencerminkan kepribadian kita kayak gimana. Bisa aja pura-pura menjadi orang lain, tapi seberapa sanggup kita untuk konsisten. Pasti susah.

Begitu pun ketika saya membaca buku-buku Winna Efendi. Secara pribadi saya nggak mengenal Winna—tapi somehow saya merasa bahwa karakter Winna pasti sedikit banyak seperti cara ia menulis: tenang, lembut, menghanyutkan namun cerdas dan dapat menusuk pada saat-saat tertentu. Dan saya jadi mengerti, kenapa waktu itu ada yang bilang ke saya bahwa dengan membaca buku yang saya tulis, dia memiliki kesimpulan bahwa si karakter kurang lebih merupakan manifestasi saya di dunia nyata: galak, sinis dan jutek.

As much as I want to deny it, I have to say, it’s kinda true.

Ketika memulai membaca Melbourne: Rewind, saya langsung terhanyut di dalam dua karakter utamanya. Saya kagum bagaimana Winna mengeksplor double POV, menuliskan Melbourne secara detail, menggambarkan secara lengkap pekerjaan Max yang berhubungan dengan cahaya, dan membuat saya terhanyut dengan apa yang dirasakan oleh Max dan Laura, sehingga walaupun ceritanya sangat (sangat) klise, you won’t mind.

Ketika membaca buku, saya mementingkan prosesnya—perasaan yang ditimbulkan ketika membaca dan—well, happy ending (saya nggak suka cerita yang gak happy ending. Karena hidup kadang sudah bikin sedih, jadi fiksi janganlah dibikin sedih juga). Dan Melbourne: Rewind, memenuhi ekspektasi saya.

Profile Image for Monica Priscilia.
6 reviews7 followers
June 11, 2013
Aku suka banget sama buku ka Winna yang paling baru ini..
Tadinya aku hampir aja ga jadi beli buku ini, tapi akhirnya aku memutuskan untuk membeli buku ini
setelah sampe rumah, aku baca buku ini dan langsung menghabiskannya dalam semalam
aku bener2 ga nyesel membeli buku ini karena sampai sekarang aja aku masih terngiang2 sm buku ini.
pembawaan ka Winna yang bener2 enak dan detail bisa bikin kita bener2 merasakan ada disana, apalagi dengan konsepnya yang menarik spt memberi lagu2 dan gambar sketsa per-babnya. Gambarannya dalam kata2 ka Winna bener2 detail, misalnya penggambaran Prudence. Prudence berisi barang2 antik nan khas serta penggambaran tempat kebiasaan sang tokoh duduk benar2 tergambar di benakku. Dan benar saja, pada lembar2 selanjutnya saya menemukan sketsa Prudence yang memang mirip banget.
Dari ceritanya: awalnya aku hanya menganggap tema cerita ini sekedar mantan ketemu lg. Tapi lagi2, aku terkesan terhadap cara kak Winna menggambarkannya secara keseluruhan dan buku ini membuat kita ketagihan.
Tapi aku agak ga suka sama Evan karena kaya meragukan dan PHP ke Laura. Aku yakin kalo Evan ga bersikap seperti itu pasti ga akan terjadi kasus selanjutnya. (kalo ga ada kasus gimana mau tercipta cerita ya hehehe) ini bukti lain bahwa ka Winna berhasil membawakan selain cerita, latar, juga tokohnya sendiri.
Jadi... i recommend this book :) happy reading.
Profile Image for Grisselda.
124 reviews247 followers
August 5, 2014
Gue tadinya lagi dalam larangan membeli buku sampai buku-buku yang belum dibaca yang ada di rumah disantap habis. Tapi begitu tau ada karya Winna Efendi yang baru... "Bodo amat, gue harus beli!" :))

Dan gue nggak nyesel.... :)
Cerita tentang mantan bisa dibikin semanis dan seseru ini bikin gue makin suka baca halaman demi halaman. Rasa nggak rela lepasin buku karena belum selesai itu berlaku banget buat buku ini. :p

Belum lagi alur ceritanya... ya ampun, gue berasa dibawa mundur ke masa lalu, masa sekarang, mundur lagi, masa sekarang lagi, mundur lagi, masa sekarang lagi, tapi gue nggak keberatan sama sekali! Karena cara bagi "scene" demi "scene" nya itu oke banget, dan alur ceritanya itu yang bikin the whole story feels just right.

Walaupun manis, ada twist-nya juga. Gue beberapa kali sempet dibawa kaget dan gemes. "Nah, pasti jadi begini deh di bab berikutnya." lalu disusul "Lho lho lho, kok si A jadi suka sama si B?" #spoilerfree #tanpasebutnama :)) ketar-ketir karena sebagai pembaca gue udah secara nggak langsung mau si anu sama si inu. Tapi ternyata, ya baca aja ya biar seru. :D

Overall, I love the characters, I can see the development from each character throuhgout the story. I love the setting (now I want to go to Melbourne, thanks to her!), and I love the story very much. That being said, I think the book totally deserves 5 stars. :)
Profile Image for Tiara Orlanda.
201 reviews18 followers
June 29, 2013
Book from one of my fave author, and I love this book so damn much !

Suka sama covernya. Suka sama design layoutnya, yang dibikin semacam playlist yang ada tracknya dan ceritanya di bagi jadi 4 bagian, play pause rewind dan fast forward. Menarik.

Secara personal, aku emang lebih suka sad story ya, dan buku ini memenuhi jauh diatas ekspektasiku. Tidak seperti buku Winna terdahulu, buku ini tidak mengutamakan hal-hal manis, justru sebaliknya. Dan aku suka :)

Kalau biasa yang merasakan patah hati adalah tokoh wanita, di buku ini berbeda. Sangat mudah merasakan perasaan hancur Max. Perasaan patah hati khas laki-laki, dimana di buku lain sering digambarkan sebaliknya.

Dibuku ini menggambarkan 2 orang di masa lalu yang bertemu kembali. Masa lalu mereka jadi hal romantis tersendiri untukku sebagai pembaca. Tidak terlalu manis tapi tetap romantis.

Aku suka basic lifeworking Max. Aku suka penggambaran setiap karakter di buku ini, oke maybe except Evan. Terasa abu-abu.

Track 16, it's one of my fave song :)
Profile Image for sifa fauziah.
52 reviews
June 11, 2016
Novel ini berkisah tentang masa lalu, jatuh cinta, dan kehilangan. Dimana setiap lagu seakan memiliki pemahaman sendiri di balik ceritanya. Banyak lagu yang aku suka ada di novel ini, seperti You And Me, Someday We'll Know--yang jadi ost film A Walk To Remember, Kiss Me Slowly, You Found Me, I'M YOURS milik The Script yeay! dan satu yang pasti kuingat adalah lagu Back To You-nya John Mayer, fyi, aku tahu lagu Back To You dari novel ini!
Yang juga aku suka, destinasi bulan madu Cee dan Evan di Maldives! wuaaa, senang rasanya bisa baca novel ini.

Sempat terpikir bagaimana kalau aku mengalami cerita tersebut, bertemu, mengobrol, bercerita, pergi jalan dengan seseorang yang dulu pernah tinggal, seolah itu adalah hal yang biasa dan bersikap dewasa dengan anggapan bahwa masa lalu memang hanya masa lalu.

"A song tells the story of your life; there's always a personal history attached to it. Itulah yang menarik dari musik--setiap orang memiliki soundtrack kehidupannya sendiri."
Profile Image for Dion Sagirang.
Author 5 books56 followers
September 8, 2015
Empat bintang yang saya semai ini rasa-rasanya pas.

Saya menyukai buku ini di banyak bagiannya. Sewaktu membacanya seperti berkendara di jalan tol yang lancar, sesekali beristirahat di rest area sekadar buat ngopi, ngerokok atau tidur singkat. Atau, seperti mengemil keripik ubi dibarengi kopi, paduan dari itu. Saya menyukai obsesi Max pada cahaya, juga kecintaan Laura pada barang-barang kepunyaannya. Pikir saya, penulis di bukunya ini pengin menghadirkan tokoh "bad", semisal Laura yang tiba-tiba merokok, atau Max yang meniduri beberapa gadis, tapi rasa-rasanya itu belum berhasil. Seperti yang dibilang pengulas lain, kalau di banyak scene, saya juga sering dibuat bingung, itu kejadian masa sekarang atau lampau, a confusing combination.

Tapi pada kenyataannya, saya menikmati waktu-waktu ketika membaca buku ini. Oke, kayaknya saya juga cocok dengan buku-buku dewasanya penulis.
Profile Image for A.
15 reviews4 followers
March 29, 2022
Melbourne - Winna Efendi

Menceritakan tentang seorang pria pecinta cahaya bernama Maximillian Prasetya dan seorang wanita bernama Laura Winardi yang telah lama putus, akhirnya mereka dipertemukan kembali di Melbourne setelah lima tahun tidak bertemu ( jodoh kalik ya xixi ).🐈‍⬛🐈‍⬛🤹🏂💏💯🤒

Saat tiba di Melbourne dalam perjalanan ke rumah, gasengaja Max denger suara Laura dalam siaran radio yang diputar di taksi yg ia tumpangi. kebetulan lagu terakhir yg Laura putar di radionya adalah lagu John Mayer berjudul Back to You. Lagu ini merupakan lagu yg didengar oleh mereka berdua di bandara saat Max pergi meninggalkan Melbourne, dan lagu ini juga yg membuat Max dan Laura teringat kejadian dimana mereka berpisah.

“A song tells the story of your life; there’s always a personal history attached to it. Itulah yang menarik dari musik—setiap orang memiliki soundtrack kehidupannya sendiri. Just like how this one particular song reminds me of a person i used to know.

Mereka pun mengulangi masa masa dimana mereka masih berstatus sebagai seorang pasangan. Banyak hal yg ingin diketahui Max maupun Laura mengenai kehidupan masing-masing setelah mereka berpisah. Apa saja yang terjadi saat mereka tdk menjadi bagian hidup masing-masing.

Kehadiran Evan pacar dari sahabat Laura yg bernama Cecily sempat menggoyahkan perasaan Laura karna mereka yg memiliki bnyk persamaan yang membuat mereka semakin dekat dan Max menjadi cemburu. Akhirnya terjadilah pertengkaran hebat yang bahkan belum pernah terjadi selama mereka masih berstatus menjadi pasangan.

Tbh aku kurang suka sama karakter cewenya krna dia gapernah mau mengakui klo dia sayang sama Max krna Laura takut buat patah hati lagi, jd kesanya disini kyk cinta satu pihak pdhl mah enggakk, dua"nya sama sama saling sayang.

"Aku dan Max tidak memiliki komitmen apa pun kepada satu sama lain. Kami bagi sekarang hanyalah masa lalu." YAHHH PENONTON KECEWA KAKK😎🕶️🤏🏻>>>🥺🧞👺🤳🤳🗣️❤‍🩹❤‍🩹

Yang aku suka dr karakter cowonya adalah dia selalu nginget hal- hal kecil tentang Laura LUCU BANGET DEHHH‼️‼️#rill #100% [teriakk] 🏂🏂💥🌋💯🪄🪄

Alur cerita di novel ini maju mundur. Kita akan digiring ke dalam kenangan waktu mereka masih pacaran, juga waktu mereka akhirnya ketemu lagi dan menjalani hari-hari sebagai seorang teman. Ada beberapa typo di buku ini tp gpp, ga terlalu mengganggu. Hal lain yang aku suka dari buku ini adalah playlistnya! SUKA BANGET.
Juga deskripsi latar Melbourne yg menjadi pemanis cerita ini, jadii klo ada scane apa gt yaa bisa kebayang soalnya penjelasan disitu tentang Melbourne cukup pas sama ceritanya.
Profile Image for Muhammad Rajab Al-mukarrom.
Author 1 book28 followers
June 19, 2013
cerita tentang Max dan Laura mampu melegakan dahaga saya akan kisah-kisah karya kak Winna Efendi.
cerita yang sebenarnya biasa namun dikisahkan dengan luar biasa sudah jadi kekuatan sang penulis sendiri, sehingga tanpa berpikir panjang, saya akan selalu menjadikan karya-karya kak Winna sebagai buku favorit tersendiri.

Melbourne: Rewind merupakan sebuah kisah cinta sederhana, yang lalu berubah luka. namun saat cinta itu diharapkan muncul kembali, residu berupa kenangan-kenangan pahit seperti berusaha menghalangi.

- Max: sebuah karakter yang mudah disukai. pandai, berwawasan, mempunyai mimpi dan passion yang tinggi terhadap hal yang ia benar-benar sukai.

- Laura: sebuah karakter yang rapuh, namun kerap mencoba untuk menyembuhkan sendiri kerapuhan itu. tipe seorang perempuan yang ceria dan mengasyikan tapi seperti mudah kehilangan arah saat kesulitan mengerubunginya.

- Cecily: sebuah karakter yang menyenangkan. seperti seorang sahabat yang selalu kita kenali luar dan dalamnya.

- Evan: sebuah karakter yang kemunculannya dalam cerita ini sama tidak terduganya dengan keputusan yang ia ambil. meski hatinya memang baik dan menyenangkan.


#Personal Opinion:
~ dari apa yang saya baca, saya dapat menilai bahwa cerita dalam buku Melbourne ini bagus dan menyenangkan. saya juga suka ada campuran rasa haru, simpati, gundah, ataupun marah yang sering terselip-selip mana kala satu per satu cerita-cerita tokoh utama dijabarkan. dan, oh, menyenangkan maksud saya di sini adalah momen-momen bahagia yang Max dan Laura lalui beberapa tahun silam, maupun momen-momen Max dan Laura bagi saat mereka bertemu kembali. ya, semua itu terasa menyenangkan, terutama saat mereka selalu menemukan kata bahagia ketika mereka bersama.

~ tapi, sayangnya cerita tersebut belum mampu membuat saya benar-benar jatuh hati pada buku ini.
ada beberapa hal--yang mungkin saya sendiri yang merasakan--membuat saya berpikir bahwa kak Winna kembali bermain-main dalam 'zona amannya'. tidak ada 'something new' yang saya tunggu-tunggu (meski mungkin ada, tapi cuma sedikit) dari kak Winna. seperti saat saya menemukan Unbelievable, atau Unforgettable yang punya aura berbeda dari karya penulis sebelumnya. untuk Melbourne, entah mengapa saya merasa kak Winna menuliskannya dengan simple.

~ lalu, setting-nya. setelah selesai membaca Melbourne pun saya belum merasakan perasaan yang menggebu untuk menginjakkan kaki ke tempat aslinya. jika saya boleh membandingkan, karya kak Winna terdahulu, AI, betul-betul membius saya. cara mendeskripsikan tempat-tempat dengan sederhana namun terasa menakjubkan dan memorable. begitu pula dalam kisah Alice di Truth or Dare yang benar-benar bisa saya bayangkan dengan imajinasi saat sedang membaca seperti kamera yang menyoroti adegan-adegan dalam film. Melbourne digambarkan seperti sebuah kota yang sudah kita pahami: sibuk, cuaca tidak menentu, dan hal-hal lainnya, sehingga saya pun tidak bisa secara jelas mewujudkan Melbourne dalam versi imajinasi karena yang muncul adalah kota macam Jakarta.

~ kesimpulan akhir (yang buru-buru)-nya adalah saya tetap menyukai karya Winna, sesederhana atau semenakjubkan apapun. saya selalu suka penokohannya, dialog-dialog antar tokohnya, diksinya, caranya bercerita, dan kata-kata manis yang sering muncul di awal bab, di pertengahan cerita, ataupun di akhir kisah. meski kata-kata itu penulis kutip dari lirik lagu, atau dialog film, atau quotes orang-orang terkenal, tapi begitu kata-kata itu ada di sana dan kita membacanya akan selalu ada lengkungan bibir atau juga bulir air mata di sudut mata saat mengetahui bahwa kata-kata itu mampu memberi efek magis tersendiri untuk mendukung cerita yang dikisahkan sang penulis.

#Personal Wish:
selalu berharap suatu hari nanti bisa bertemu kak Winna secara langsung. mungkin ia bahkan lebih menyenangkan dari kisah-kisahnya yang sudah saya baca. ^^

terus berkarya ya kak Winna Efendi!!
:)

best regards,

princedamorejeb
Profile Image for Lona Yulianni.
237 reviews16 followers
July 13, 2013
Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you


Max kembali ke Melbourne setelah 5 tahun meninggalkan kota itu untuk bekerja di New York, memenuhi semua impian masa kecilnya untuk bekerja sebagai light designer . Ia kembali tidak hanya rindu akan his second hometown, ia juga rindu akan wanita yang pernah mengisi penuh hatinya.

Laura di Melbourne berprofesi sebagai freelancer , penyiar radio, translator, apapun yang bisa ia kerjakan. Sebagai penyiar radio, ia percaya bahwa masing-masing orang memiliki soundtrack-nya sendiri-sendiri. Bahkan ia dengan menamai playlist di Bono iPod dengan nama sahabat dan mantan kekasihnya, sesuai dengan lagu-lagu yang menjadi favorit masing-masing orang.

A song tells the story of your life; there's always a personal history attached to it . Itulah yang menarik dari musik-setiap orang memiliki soundtrack kehidupannya sendiri

Laura yang masih di Melbourne tidak menyangka akan bertemu kembali dengan kekasih masa lalunya, Max. Laura sendiri membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melangkah dari pahitnya kisah cinta masa lalunya dengan Max, akhirnya menerima Max kembali ke dalam kehidupannya sebagai teman. Teman jemput Laura setelah selesai siaran malam di jam 02.00 dini hari, teman minum kopi di Prudence sampai pagi, teman makan jam doughnut di Vic Market, teman menonton film thriller macam Saw dan Friday The 13th, teman bicara...
Teman?
Percayakah mantan sepasang kekasih bisa berteman saja , tanpa embel-embel apapun?

Max jelas masih mencintai Laura, ia masih berharap bisa kembali menjalin hubungan dengan Laura karena bagi Max, Laura sudah mengisi hati, otak, dan hidupnya selama ini, bahkan setelah 5 tahun berpisah. Laura sendiri? Ia masih takut untuk memutuskan apakah yang ia rasakan ini cinta seperti masa lalunya atau hanya sekedar kenyamanan?
Di tengah kegalauannya, Laura menemukan sesosok pria yang men-distract pikirannya dari Max dalam diri kekasih Cee, Evan.
Laura-pun tidak habis pikir mengapa ia bisa menyukai Evan yang jelas-jelas adalah cinta mati sahabatnya.

Dan ketika Max akhirnya memutuskan untuk kembali mengutarakan isi hatinya, baik Laura dan Max kembali patah hati.

Cinta itu rumit, bahkan untuk Cee yang sering pacaran.

I don't know why but when I reviewed this book on my mind, that part of the song popped up naturally. Max dan Laura saling berusaha menyembuhkan luka masing-masing. Berusaha, karena di tengah jalan mereka berdua akhirnya terluka lagi. Perang ego dan gengsi yang mereka sempat jalani menghancurkan kembali pondasi yang telah mereka bangun perlahan-lahan untuk membangkitkan kembali kisah cinta mereka.

I love this book dan sesuai saran saya membaca buku ini per-babnya sambil diiringi lagu-lagu yang menjadi judul bab novel ini. It works. Isi ceritanya menjadi sangat-sangat hidup, saya merasa bahwa saya menjadi bayangan kasat mata di kisah Max dan Laura ini. Tak lupa penggambaran setting tempatnya di Melbourne. Keliatan banget Melbourne itu tenang banget dan gak salah jadi the most live-able city in the world. Dan ya, saya agak sensitif sama kota Melbourne, bahkan sempat terobsesi karena... ya... I've never been there but he's there, or he has been there, or he had been there, argh Idk where in this earth he is now #curcol

However far away, I will always love you
However long I stay, I will always love you


Ya intinya Laura menggambarkan saya banget : maniak musik, maniak kopi, maniak baca, tapi TIDAK untuk maniak nonton film thriller-nya :p
Oh ya, saya cinta black coffee -nya Prudence.
Profile Image for Andita Citra.
13 reviews
October 26, 2021
its true. winna efendi is great on describing things as it is. novel pertama winna efendi yang kubaca. and i can't wait to read another story from her. walaupun ini novel lama, tetep berasa asik bgt dibaca di 2021. i love it!
Profile Image for ☆ chu ☆.
95 reviews17 followers
October 3, 2022
my first book from stpc series!! sukaaa banget 🥺 i love the details of this book. tiap chapter baru selalu ada potongan lirik & ilustrasi cantik dari kota Melbourne. alur & plotnya rapiii walaupun ganti2 pov dan ganti2 alur (maju-mundur) tetep bisa ngikutin dan gak bingung bacanya

penulisan narasi dan penggunaan diksi buat deskripsiin latar tempat dan perasaan mereka berdua juga bagus banget! semuanya detail & pas, jd berasa pgn jalan2 ke melbourne juga😞😞

ikut galau & bimbang sama kisah cinta max dan laura huuufftt greget banget🤕 ohiya, banyak juga quotes2 kehidupan yg meaningful💗 recommended!
Profile Image for Yunita1987.
257 reviews5 followers
August 3, 2013
Buku ini mungkin akan menjadi salah satu buku favorit untukku, kenapa? Karena buku ini sukses membuat diriku memikirkan kisah Max dan Laura, bagaimana cara mereka berpacaran, yang mungkin sepertinya biasa aja sih, tapi penulis sukses membuat diriku seperti ikut merasakan bagaiamana perasaaan mereka berdua (sorry jika terlalu berlebihan, tapi ini benar-benar yang aku rasakan...:D). Jadi jika masih penasaran, bisa dibaca sendiri aja deh...;)

Lanjut deh, dari pada curcol mulu,,,,,

Jadi kisah ini diawali dari jalan pikiran Max yang bercerita bagaimana awal pertemuannya dengan Laura yang akhirnya sukses menjadi pacaranya tetapi harus berakhir dengan putus dan hubungan yang tidak pasti. Max bertemu dengan Laura yang saat itu kehilangan walkman kesayangannya yang ternyata diambil oleh Max dikarenakan walkman itu menarik perhatiannya dirinya dan ternyata sudah hampir dilupakannya. Hingga akhirnya dia harus bertemu Laura. Hingga akhirnya berawal dari walkman itulah, Max bertemua dengan Laura.

Laura sendiri yang ternyata suka mendengar musik, walaupun menurut Max sendiri selera musik Laura sangat sulit untuk dimengerti olehnya. Setelah putus dan sudah berpisah dengan Max, Laura bekerja di Malbourne dan salah satu pekerjannya adalah sebagai penyiar radio, dan pekerjaan itu sangat Laura nikmati. Dan Laura sendiri percaya bahwa ada lagu yang tepat untuk setiap peristriwa maupun kenangan. Setiap orang memiliki soundtrack kehidupannya sendiri.

Hingga akhirnya setelah 5 tahun tidak pernah bertemu dan berkomunikasi kembali, mereka bertemu kembali. Banyak cerita yang mungkin akan sangat sulit kita tebak, kenapa dan kenapa. Tapi inilah kisah menarik dari Max dan Laura.

Profile Image for Jessica Ravenski.
360 reviews4 followers
June 3, 2013
Aaa, menyelesaikan buku ini dalam waktu kurang lebih 5 jam *bangga*.

Oke, reviewku ini mungkin mengandung spoiler, jadi bagi kalian yang belum baca bukunya, jangan coba-coba buka reviewku :p

Buku ini menceritakan pertemuan antara Max dan mantan pacarnya, Laura, yang sudah berpisah selama 5 tahun. Anehnya, walaupun status mereka 'mantan', mereka masih bisa berteman dengan baik. Mereka juga masih sering mengenang masa-masa pacaran mereka dulu.

Laura ini juga mempunyai seorang sahabat, yang biasa dipanggil Cee. Bermula karena Laura yang tidak sempat membawa kucingnya ke dokter hewan, Cee-lah yang menggantikannya. Tanpa disangka, di sanalah, Cee menemukan dambaan hatinya, yang bernama Evan Mulyadi, seorang dokter hewan.

Sebulan setelah itu, Cee jadian dengan Evan. Lalu Cee pun mengajak Laura berkenalan dengan Evan. Laura dan Evan memilik kesamaan yaitu suka mendengarkan musik. Dari mulai nonton konser musik berdua, sampai hujan-hujanan saat membeli kue untuk pesta Cee, Laura merasa kalau ia jatuh cinta dengan pacar sahabatnya itu.

Aku bener-bener bisa merasakan apa yang Laura rasakan saat pernikahan Evan dan Cee. Ah, nyesek sekali :( Perlahan-lahan juga mulai diceritakan penyebab putusnya Max dan Laura.

Secara keseluruhan, aku sangat menikmati ceritanya dengan baik. Hanya saja, (mungkin karena aku sedang kurang fokus karena aku membaca buku ini di tengah keramaian classmeeting #curcol) aku kurang mendalami karakter-karakter di buku ini. Dan menurutku endingnya itu, hmm.. apa ya.. kurang menggelegar (?)

Tapi, di luar dari itu, aku menyukai buku ini. Dan aku akan terus menunggu karya kak Winna yang selanjutnya :))
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Hanny.
2 reviews10 followers
June 24, 2013

Melbourne Rewind by Winna Efendi
Melbourne: Rewind
Winna Efendi

Keren banget!

Seperti karya Mbak Winna, Refrain, Melbourne juga mengisahkan soal cinta pertama. Mau sesulit apapun bahasa yang digunakan Mbak Winna, gue tetep suka dengan plot yang dikisahkan. Karakter Max dan Laura, yang terdapat dalam cerita, dikisahkan sedemikian nyata dan sukses membawa gue sebagai pembaca untuk larut ke dalam masalah mereka.

Buat gue yang membaca setiap novel dengan teknik membaca cepat, novel Melbourne nggak bisa satu kali saja dimengerti. Apalagi kalau ingin mengerti soal bahasa yang digunakan, mungkin gue akan baca lagi dua sampai tiga kali baca. Gue juga sempet bingung dengan plot maju-mundur yang digunakan sehingga nggak tahu awal ceritanya itu dimana.

But Anyway, gue memberi rating sebanyak lima dari lima bintang buat novel ini. Kenapa? Jarang banget ada novel Indonesia yang bahasanya berat, tapi gue tahan untuk membacanya dengan cepat, bahkan bikin gue nagih buat baca lagi.

Buku ini seriously on my top recommended Indonesia Novel buat elo yang masih ingin terbuai kembali ke masa-masa cinta pertama elo. Atau mungkin mencari novel yang isinya nggak melulu soal cinta-cintaan lebay :D


This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Fadila setsuji hirazawa.
350 reviews4 followers
September 13, 2025
"...Lo gak perlu terus bertanya-tanya, apa yang Lo berikan udah cukup atau berlebihan, sejauh mana loe harus menyayangi seseorang, dan apa balasan yang lo terima udah setimpal. Karena untuk orang-orang yang mencintai dengan bebas, semua itu nggak penting" Hal.319
.
Max dan Laura pernah saling jatuh cinta, bertemu lagi dalam satu waktu. Keduanya bertanya-tanya tentang perasaan satu sama lain. Ketika ada harapan, justru ada ketidakpastian yang hadir...
Akan seperti apa akhir Max dan Laura?


📼 Masih terasa kekhasan kak Winna Efendi yg menyajikan kisah dari sudut POV kedua tokoh utama dgn diksi yg bagi saya pribadi selalu memikat untuk membaca karyanya. Dan Melbourne menjadi salah satu karya kak Winna yg buat saya suka🤍

📼 Novel yg saya baca ketika kuliah ini dibuka dgn narasi POV Max, kemudian bagian lainnya bercerita tentang pertemuan Laura-Max diwaktu setelah berpisah dan pertemuan pertama di masa lalu. Dengan gaya menulis kak Winna, rasanya perubahan ini tidak membingungkan dan justru seperti mengalir juga terdeskripsikan dgn apik lewat POV Max dan POV Laura.

📼 Saya pribadi cukup dibuat terkejut dgn kehadiran salah satu tokoh yg kemudian membuat Max menyadari sesuatu melalui kebiasaan Laura yg ia ketahui; membuatkan playlist lagu untuk orang orang tertentu.

📼 Saya pribadi menyukai profesi Max dalam novel ini yg belum pernah saya dengar sebelumnya, kemudian playlist lagu yg ada di novelnya, hingga dinamika Max-Laura yg membuat emosi saya naik turun terutama pada bagian Laura.

📼 Akhir yg disajikan, bagi saya pribadi menghangatkan hati🙏
Displaying 1 - 30 of 321 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.