Polisi bilang, aku melaporkan diriku sendiri. Kata mereka, aku membunuh seorang pria. Hanya saja.... aku tidak ingat. Aku tidak pernah ingat melapor, apalagi membunuh orang.
Rikako Akiyoshi (in Japanese, 秋吉 理香子) studied literature at Waseda University and received her Master’s degree in Film and TV Production from Loyola Marymount University. Her debut work Snow Flower won the Yahoo! JAPAN literature prize and was adapted into a short film. She is the author of several works of fiction. The Dark Maidens has also been adapted into a movie.
Baca ini kemarin dalam perjalanan di kereta. Saya merasa novel ini agak beda dengan novel-novel Akiyoshi Rikako-sensei biasanya. Yang ini lebih... apa ya... . Dan itu tumben banget. Biasanya nggak nemu novel beliau yang seperti itu, karena umumnya novel beliau cuma dua vibe: mencekam, atau ternyata-membahagiakan. Nah, novel ini nggak dua-duanya. Dan saya merasakan aliran emosi yang lebih dalam pada novel ini dibandingkan dengan novel-novel Akiyoshi-sensei yang lain.
Ceritanya bagus banget, dan mengena sekali buat saya secara personal, terutama pada bagian Yuka--karena saya pernah berada di posisi serupa, yaitu mengurus orang tua yang sakit. Pokoknya banyak narasi di bagian-bagian dia yang rasanya jleb banget di hati saya. T_T Dan saya suka banget cara Akiyoshi-sensei menuliskan bagian Mayuko dari sudut pandang orang pertama, dengan cara yang bikin geregetan sendiri karena benar-benar menggambarkan hilang-timbulnya ingatannya... sesekali ingat, beberapa menit kemudian lupa. Sebagai orang yang sangat sangat sangat menyadari betapa pentingnya memori di otak kita, membaca kondisi Mayuko itu rasanya heartbreaking banget.
Dan twist-nya! Seperti biasa, Akiyoshi-sensei jago banget mempermainkan pikiran pembaca. Pas awal-awal, saya mengira faktanya X (karena pembaca digiring ke arah sana), terus menjelang tengah dan akhir, kecurigaan saya berubah karena suatu kejadian. Ternyata kecurigaan yang berubah itulah yang benar, tapi nggak nyangka aja bahwa detailnya seperti itu....
T_T
Memory of Glass semakin mengukuhkan posisi Akiyoshi-sensei sebagai penulis yang serbabisa dalam segala genre, yang buku-bukunya akan selalu autobuy.
A rare thing happened when I read this RA's book, I cried!!! At the end of the story, Mitsuharu (the husband) took Mayuko (the wife with disorder memory) to the beach for the last time. At that moment Mayuko remember that they're married for twenty years, she closed her eyes then Mitsuharu kissed her. Mayuko felt happy, loved, protected, then second later she opened her eyes and she forgot all of that.
"Kamu siapa?" "Aku penggemarmu"
Ever since Scheduled Suicide Day I knew that RA also capable to write such heartwarming/heartbreaking story. In this book she balanced the murder mystery with the emotional drama perfectly well. Though the narration especially when it's Mayuko's part was frustrating.
I personally think that while the mystery was decent, the story was more about people dealing with guilt and grief. My mom was sick that required full time care before she passed away, so I can easily relate to the story and especially Yuka's feeling.
This entire review has been hidden because of spoilers.
“Kenapa aku selalu lupa? Orang-orang yang penting, kenangan, semuanya pergi entah ke mana. Aku, aku sekarang ingat mencintaimu, juga menikah denganmu. Meski begitu… aku tidak ingat namamu.”
Let me say, this book is so much better than Giselle! Perlu kita ketahui sebelumnya, Giselle terbit awal 2019 dan cukup membuat saya merasa kecewa (karena menurut saya, Giselle adalah satu-satunya karya Akiyoshi Rikako yang gaya penulisannya benar-benar baru. Genre-nya pun lebih ke drama dibanding crime dan fokus utama jelas pada karakteristik beserta perasaan tiap tokohnya. Membaca Giselle lantas membuat saya berpikir, ‘apakah ini sungguhan karya Akiyoshi-sensei?’ karena gap style-nya memang sejauh itu. Unsur mistis pun lebih mendominasi (sedikit mengingatkan saya pada The Dead Returns dan Scheduled Suicide Day, namun pada Giselle—porsinya dirasa berlebihan). Namun, akhirnya Akiyoshi-sensei kembali ke gayanya yang semula—genre crime dan misteri yang membuat pembaca bingung dengan siapa pelaku sebenarnya di balik kasus tersebut.
Memory of Glass berkisah tentang ‘aku’ (Kashihara Mayuko) yang menderita gangguan ingatan eksekutif (ia hanya bisa mengingat sesuatu yang disampaikan pada dirinya selama 10-20 menit saja) dan merupakan gejala sisa dari kecelakaan sewaktu ia berusia 21 tahun. Menurut penjelasan para polisi, dia membunuh seorang pria bernama Gouda Mikinari atas dasar balas dendam (karena Gouda membunuh orangtuanya) dan melaporkan dirinya sendiri sesaat sebelum dia pingsan di TKP.
Jujur, awal ceritanya begitu membosankan. Setiap membuka lembarannya, akan terbesit pemikiran ‘kenapa aku membaca novel ini? Bukankah pelakunya sudah diketahui? Apa gunanya aku membacanya sampai akhir?’ tetapi—tunggu dulu—pelakunya sendiri saja tidak bisa mengingat apa-apa dengan baik, lho? Apakah memang benar dia pelakunya?
Sepanjang cerita, kita menyelam pada penyelidikan untuk memastikan siapa pelakunya, lengkap dengan bumbu-bumbu perasaan yang terselip. Kita dibuat meraba-raba siapakah pelaku yang sebenarnya, karena memang kurangnya informasi yang didapatkan para detektif, ditambah kesaksian Mayuko yang tidak bisa dipercaya—mengingat gangguan ingatan yang dideritanya. Novel ini baru terasa seru dari pertengahan sampai akhir, twist-nya bertubi-tubi dari rentang yang disebutkan tadi, ditambah unsur angst sebagai penutup (sebenarnya tidak hanya di epilog, perjalanan membaca novel ini pun kita akan dibuat sedih dengan sosok Mayuko dan Yuka).
Hendak menambahkan, Yuka adalah salah satu detektif yang mengusut kasus pembunuhan terhadap Gouda Mikinari. Dia juga bisa disebut sebagai deuteragonis dalam Memory of Glass (yang posisinya seperti second lead character, karena sumbangsih pemikiran dan luapan perasaannya terhadap kasus Mayuko tidaklah terkira). Menurut saya, unsur kesedihannya lebih ‘dapat’ dibanding Giselle yang notabene ber-genre drama. Penutupan ceritanya pun nendang dan dipenuhi kutipan inspiratif, sangat berbeda dengan akhir gelap yang disajikan pada Girls in The Dark.
Akhir kata, Memory of Glass sukses menempati posisi keempat dari karya-karya Akiyoshi-sensei yang pernah saya baca. 4.7/5 untuk Akiyoshi Rikako kali ini!
Mungkin ini pendapat subyektif karena aku selalu suka sama buku-bukunya Akiyoshi-Sensei 🙈 buku ini juga ga kalah bikin otak nebak-nebak dan mikir siapa yg salah sebenarnya. Tapi, mungkin karena udah sering baca bukunya Akiyoshi-Sensei yg lain udah mulai terbaca alurnya bakal gimana jadinya ga terlalu kaget juga 🤭😆 but overall aku suka buku iniiii, tema yg diangkatnya pun ga biasa.
Siapkan hati dan kesabaran kalian pas baca buku ini yaaaa 🙈🤭
Astagah, Akiyoshi Rikako sensei benar2 top dalam hal "membingungkan" pembacanya, sampai-sampai tidak bisa memilih siapa sebenarnya yang bisa Haruka percayai, si suami yg mendampinginya selama 20 tahun tapi memang sedikit mencurigakan tindak-tanduk di hari pembunuhan, atau Hisae yang tulus membantunya mencarikan pengacara dll untuk mengeluarkannya dari penjara. Astagah. Astagaaah, twistnya....
Selain itu kisah Yuka si detektif polisi wanita yang tangguh tapi kesepian dan harus pontang-panting bekerja dan merawat ibunya yg dimensia juga sangat menarik. Apalagi saat ini, sangat sesuai dan mendukung pov novel Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982 yang menohok itu.
mayuko’s pov had me so annoyed but also soft at the same time. but fr, this book lowkey taught me a lot about dementia and what it’s like to care for someone you love. kinda heartbreaking if you really think about it. and as always, rikako sensei never disappoints!
Mari tarik napas dulu dalam-dalam, lalu embuskan! HAH.
Aku beneran gak bisa berkata-kata lagi sama buku ini. Rikako Akiyoshi-sensei memang pandai dalam membuat pembacanya menerka ini dan itu tapi kemudian dipelintir lagi ke sana dan ke sini. Setelah baca buku ini aku betul-betul dibikin termenung, (aduh, apa, ya, sebutannya) pokoknya begitu.
Dari awal sampai pertengahan kita dibuat bisa mengalami isi pikir dari Mayuko, kemudian beralih ke sekitarnya yang gak ada habisnya bikin tercengang.
Sepanjang cerita dari awal sampai pertengahan, aku dibuat yakin bahwa sebetulnya yang membunuh itu adalah orang terdekat dari Mayuko. Sampai akhirnya kasus pembunuhan itu berubah, aku masih yakin bahwa pelakunya adalah, orang itu. TAPI, ada yang sedikit janggal kalau dilihat dari jumlah sisa halaman yang masih bisa dibilang belum benar-benar sampai akhir, wkwkwkwkwk. Dan, akhirnya bener aja kalau pelakunya justru orang lain.
Duh! Perasaan aku beneran dibuat kacau, belum lagi ketegangan yang saat itu digambarkan betul-betul bisa bikin aku nahan napas karena sudah ada fakta yang sebenarnya pun, Mayuko masih lupa dengan fakta itu.
Berhubung aku baca Burning Heat lebih dulu, baru baca buku ini, orang bilang kedua buku ini ada kesamaan dalam bagian romansanya, dan aku setuju. Di kedua buku ini, selain mengceritakan plot twist yang bertubi-tubi, mereka juga sama-sama menceritakan bagaimana cinta seorang suami yang benar-benar tulus untuk istrinya, dan saking tulusnya, aku dibuat terharu, bahkan nyaris menangis setelah baca buku ini.
Mungkin kalau buku Scheduled Suicide Day ceritanya dibumbui cerita romansa yang manis, buku ini dibumbui cerita romansa tentang ketulusan. Bisa aku bilang, buku ini adalah perpaduan dari cerita penuh kasih sayangnya Scheduled Suicide Day dan kegilaan plot twistnya Holy Mother yang bisa banget bikin kita melongo.
Alurnya lambat tapi mengalir dan enak dibaca. Karena terkesan lambat ini aku merasa sedikit bosan ditengah walaupun tetap bikin penasaran. Sampai hampir diakhir, twistnya cukup mengejutkan seperti biasa tidak bisa terprediksi sama sekali Walaupun pelaku sebenernya dengan mudah bisa kutebak, tapi endingnya itu yang buatku tak tahan lagi.
Berlinang air mata membaca iniㅠㅠ Meski sedikit banyak siapa pelakunya bisa ditebak, tapi karya Akiyoshi sensei benar-benar tidak ada yang mengecewakan. Tips: curigai semua karakter yang ada.
Saya mulai membaca buku ini bulan Juli, 2020. Seringkali berhenti, kemudian membaca buku lain, lalu kembali ke buku ini. Baru baca 1-2 halaman, berhenti lagi...gitu aja terus. Hehe... bukan bukunya tidak bagus, tapi jujur saja awalnya ikut frustasi membaca karakter utama novel ini.
Kashihara Mayuko, mengalami gangguan ingatan pasca kecelakaan. Waktu itu seorang pembunuh massal membunuh kedua orang tuanya. Dia berhasil melarikan diri, namun kemudian ditabrak oleh sebuah mobil. Selang beberapa tahun, pengemudi mobil yang menabraknya itu, Mitsuharu, kemudian menjadi suaminya.
Mayuko menyerahkan diri karena telah membunuh seorang pria bernama Gouda. Gouda inilah pembunuh massal yang membunuh orang tuanya. Namun, karena gangguan ingatan itu, Mayuko sering lupa siapa dirinya, apa yang dilakukannya, dan banyak hal lagi yang dilupakannnya. Ingatannya hanya bisa bertahan 10-20 menit, lalu semuanya seperti dimulai dari awal.
Kisah ini adalah kisah misteri berbalut thriller. Pembaca diajak mencoba memahami kondisi Mayuko. Sementara itu keberadaan dua detektif kepolisian yang mencoba mencari bukti pembunuhan yang dilakukan Mayuko membantu pembaca melihat dari sisi yang berbeda. Saya salut dengan penulis yang bisa meramu kisah sedemikian rupa membuat pembaca benar-benar bisa merasakan betapa frustasinya berhadapan dengan seorang seperti Mayuko.
Jadi gini rasanya ngerasain plot twist khas Akiyoshi Rikako yg sering dibicarain orang-orang. Penulisnya pandai menggiring opini pembaca sehingga kita kebingungan mana yg bener mana yg salah.
Cerita dibuka dengan adegan yg cukup berdarah-darah. Sudut pandangnya ada dua macem, si tokoh utama yg kehilangan ingatannya dan si detektif wanita dengan segala permasalahannya. Ide cerita yg diangkat cukup unik, yaitu tentang Memori dan ingatan. Bagaimana si tokoh melakukan aksinya sementara ia tidak ingat apa yg dilakukannya, menarik. Ada juga bagian yg menyoroti masalah sosial mengenai anak2 yg mengurus Orang tua yg sudah uzur.
unsur misterinya terus dipertahankan sejauh ini. meskipun di beberapa bagian diselingi drama keluarga, tapi tidak mengurangi rasa penasaran terhadap garis besar ceritanya. Di beberapa bagian juga diselipkan beberapa pesan sosial. Great story!
Sebagai permulaan mengenal tulisannya Akiyoshi Rikako, judul ini cukup memuaskanku. Next bakal coba baca judul lainnya
What making this book so difficulty likeable is the writing style. Either because some of it lost in translation or Akiyoshi's writing is indeed like that, the type of writing that is not really my cup of tea. It's a little bit hard for me to get through, like i need to reread every sentence twice and sometimes still can't get what's the meaning behind it. That's just too bad, everything was covered up by this.
The twist isn't as good as Akiyoshi's other books. It's more predictable and i've seen it coming in the first clue. Maybe because this book is more to its moral value than to solve the mystery.
What making me rated this 3+ stars is the fact that this book stressing me out and fucked me emotionally. That one is the best aspect out of this book, like i can feel the pain and love especially in the ending.
Honestly still no strong feeling to this book tho. But not bad.
This entire review has been hidden because of spoilers.
This book broke me. Akiyoshi Rikako memang tidak pernah gagal dalam hal membuat bingung pembaca. bukunya penuh dengan plot twist. awalnya aku yakin pelakunya ini, terus dibuat goyah, dibuat yakin lagi, lalu goyah lagi. tapi… endingnya sedih. Mitsuharu, 19 tahun menikah dengan Mayuko yang punya gangguan ingatan walau tau resikonya dia bakal gak diinget, tapi Mitsuharu memilih untuk tetap menikah dengan Mayuko yang punya gangguan ingatan tersebut karena sayang dan cinta. this book is just… wow. gak nyangka kalo endingnya bakalan sesedih ini.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Buku ke-6 dari Akiyoshi yg gue baca dan baru sadar sejauh ini ke-6nya belum pernah ada yg gue kasih rating di bawah 4⭐. WOW!
Meskipun di tengah2 ada beberapa part yg bikin bosen, tapi secara keseluruhan buku ini tetap bagus, baik dalam segi cerita maupun pesan yg bermaksud disampaikan penulis di dalamnya.
Alur buku ini engga sesederhana yg gue duga, lumayan rumit tipikalnya Akiyoshi. Apalagi dengan karakter utamanya yg mengidap demensia ekstrem, menambah kekusutan proses pemecahan kasus di sini.
Plot twistnya engga begitu mencengangkan, pun engga mengaduk-aduk emosi gue sebagaimana ketika baca Absolute Justice. Tapi, buku ini meninggalkan sebuah kesan yg menghangatkan hati mirip dengan perasaan gue setelah baca Burning Heat.
Rasanya ikutan bingung padahal bukan Mayuko. Walaupun kondisi Mayuko diceritakan berulang-ulang, tapi penulis berhasil menceritakannya dengan sangat enak dibaca, jadi alih-alih bosan dengan cerita kondisi Mayuko yang berulang, yang saya rasakan adalah seolah saya Mayuko.
Plot cerita di buku ini terasa sangat padat, tapi sayang di akhir saya merasa alur cerita sedikit dipercepat, terutama di bagian ketika Mayuko dan Hisae berada di rumah setelah Mayuko dibebaskan. Mungkin penulisnya udah ngga kuat lagi ya dengan sisi kelam cerita ini haha. Karena pun saya merasa sedikit frustasi ketika merasakan apa yang harus dijalani Mayuko.
Oh, minus dari buku ini yaitu tokoh detektif yang rasanya kurang "detektif". Dua tokoh detektif utama di buku ini ngga punya peran penting sebagai detektif selain hanya mengikuti 'alur cerita' yang dibuat oleh Mitsuharu dan Hisae. Padahal menurut saya beberapa bagian cerita bisa dipercepat andai dua detektif utama ini melakukan tugas seperti detektif 'yang seharusnya'.
Untuk ending cerita saya mau kasih bintang seratus! Menurut saya endingnya pas dan ngga berlebihan. Sedikit sedih sampai dada sedikit terasa sesak karena membayangkan posisi saya sebagai Mitsuharu. Alasan Mitsuharu melakukan semua ini kepada Mayuko juga salah satu faktor saya rate buku ini dengan 5 bintang.
Ceritanya menarik. Banyak pelajaran dari buku ini. Penyakit Alzheimer itu apa? Rupanya seperti itu jika seseorang terkena penyakit gangguan ingatan. Merawat orang yang sakit seperti itu tidak mudah. Butuh kesabaran.
Ada dua sudut pandang dalam kisah di buku ini. Yang pertama adalah dari sudut pandang Mayuko. Yang kedua adalah dari sudut pandang detektif Kiritani. Yang satu adalah orang dengan gangguan ingatan. Satunya lagi adalah orang yang ibunya memiliki gangguan ingatan. Dari sudut pandang kedua orang ini, kita jadi ikut merasakan bagaimana seandainya kita menjadi mereka.
Akiyoshi-sensei benar-benar hebat mengarang buku ini. Membaca buku ini bisa sampai terbawa suasana. Ada bagian yang mengharukan. Biasanya saya nangis kalau nonton drama. Tapi buku ini berhasil membuat saya terharu hingga menitikkan air mata. Benar-benar keren!